[News] 16/6/2015 || Persoalan ketahanan energi nasional masih menjadi isu hangat yang diperbincangkan hingga sekarang ini. Hal ini terus mencuat lantaran cadangan minyak Indonesia kian waktu kian berkurang, sementara konsumsi minyak bumi oleh masyarakat di Tanah Air tak kunjung berkurang. Tampaknya butuh reformasi energi demi menjaga ketahanan energi nasional.
Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan minyak utamanya bahan bakar minyak (BBM), pemerintah melakukan impor BBM. Impor ini pun terus mengalami pembengkakan dan salah satu dampak negatifnya adalah membuat current account defisit (CAD) mengalami pelebaran dari waktu ke waktu.
Pembengkakan CAD ini tak pelak berbuntut panjang. Mulai dari nilai tukar rupiah yang dianggap tak menarik lantaran pemerintah dianggap tak mampu menekan persoalan defisit tersebut hingga terganggunya belanja infrastruktur akibat sempitnya ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur karena terkendala besarnya alokasi anggaran untuk impor BBM.
Dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) Tahun Anggaran 2015 yang sudah diserahkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro kepada pimpinan DPR-RI, pemerintah memangkas anggaran subsidi dari Rp414,680 triliun pada APBN 2015 menjadi tinggal Rp232,716 triliun pada RAPBN-P 2015, atau turun sebesar Rp181,964 triliun.
Subsidi BBM, BBN, dan LPG tabung tiga kilogram (kg) dalam RAPBNP 2015 diperkirakan mencapai Rp81,81 triliun, yang berarti mengalami penurunan Rp194,197 triliun jika dibandingkan dengan pagunya dalam APBN 2015 sebesar Rp276,013 triliun.
Kendati demikian, angka tersebut masih terbilang besar dan masih menganggu ruang fiskal. Apalagi, besarnya anggaran subsidi ini membuat CAD masih mengalami naik turun dan tidak ada konsistensinya terhadap penurunan di level yang aman. Tentu ini memiliki dampak tersendiri, utamanya sudut pandang investor yang berkaitan dengan minat investasi.
Terlepas dari hal itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro justru meyakini level CAD atau defisit neraca perdagangan Indonesia di sepanjang 2015 ini akan lebih rendah bila dibandingkan CAD di sepanjang 2014 yang mencapai 2,9 persen.
Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) ini berkeyakinan hal ini lantaran Bank Indoensia (BI) dan International Monetary Fund (IMF) juga meyakini CAD Indonesia di 2015 akan berada pada kisaran 2,5-2,8 persen. Hal ini diyakini meski impor tetap dilakukan, namun harga-harga sedang mengalami penurunan.
BI meyakini penurunan CAD dikarenakan adanya perbaikan ekspor manufaktur, penurunan impor sejalan dengan permintaan domestk yang melemah, pergerakan nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya, dan adanya penurunan harga minyak. Tak hanya itu, penurunan harga komoditas dunia akibat pelemahan harga minyak dunia diperkirakan memengaruhi kinerja CAD.
Pada momentum seperti itu rasanya diperlukan reformasi energi di Indonesia. Hal ini menjadi penting lantaran sudah waktunya Indonesia tak lagi bergantung kepada energi yang berasal dari fosil, mengingat cadangan tersebut mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
Paradigma dan moralitas masyarakat Indonesia perlu segera dirubah dan ini menjadi tugas penting yang harus dilakukan oleh pemerintah. Jangan sampai ketergantungan dengan minyak atau BBM menggerogoti APBN dan menghambat pertumbuhan ekonomi secara keberlanjutan.
Perubahan paradigma masyarakat sedikit banyak membantu mengurangi beban APBN. Perlahan anggaran subsidi bisa dikurangi, dan bisa saja menekan mafia-mafia yang berada di ranah minyak dan gas bumi (migas). Optimalisasi pembangunan infrastruktur dan pemerataan kesejahteraan menjadi ujung dari perubahan ini.
Saat ini, peranan gas bumi sebagai sumber energi secara perlahan mulai mengimbangi peranan minyak bumi. Diperkirakan, pada 2025 kontribusi gas bumi akan sebanyak 30 persen terhadap bauran energi nasional, yang artinya keberadaan gas bumi mulai dilirik masyarakat sebagai energi alternatif selain minyak bumi.
Tentu angka tersebut menjadi indikator yang membahagiakan, mengingat cadangan minyak diperkirakan terus berkurang dan diperkirakan habis pada 2030, jika Indonesia tidak menemukan cadangan baru. Dewan Energi Nasional (DEN) sendiri telah memprediksi pada 2020 defisit energi semakin membengkak dan ditakutkan Indonesia tak mampu lagi memenuhi kebutuhan energinya sendiri.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil, cadangan minyak Indonesia diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 11 tahun dari sekarang. Hal ini terjadi karena cadangan minyak Indonesia sangat kecil dan tidak bisa diperbaharui lagi kecuali ditemukan ladang minyak baru. Karenanya, pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan pertambangan untuk menemukan ladang minyak baru.
Pada momentum itu, bukan tidak mungkin Indonesia akan lebih banyak mengimpor kebutuhan energinya. Hal ini akan menjadi persoalan tersendiri dan mengganggu ruang fiskal pemerintah di APBN sehingga pembangunan ekonomi tak optimal dan bisa saja menghambat laju pertumbuhan di masa-masa mendatang.
PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) bisa menjadi salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didorong untuk menggantikan peran minyak dan mengalihkan sudut pandang masyarakat untuk menggunakan energi lain, salah satu contohnya adalah gas bumi. Gas bumi sebagai energi baik telah terbukti menjadi energi yang aman, efisien, dan ramah lingkungan.
Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat menciptakan kemandirian energi karena sumber gas bumi berasal dari perut bumi Indonesia sendiri. Tak hanya itu, pemanfaatannya pun meningkatkan perekonomian Indonesia. Pada aspek ini, PGN pun diharapkan terus berupaya dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan energi terkait gas bumi ini.
Sesuai Perpres Nomor 19 tahun 1965, PGN memiliki tugas untuk membangun ekonomi nasional dari aspek ketersediaan gas bumi. Karenanya, tidak salah bila PGN merintis pengembangan jaringan pipa gas bumi sejak 1974. Tentu tidaklah mudah merintis konversi energi di saat Indonesia masih mengalami kejayaan produksi minyak bumi.
Namun, perjuangan PGN membuahkan hasilnya saat ini. PGN berhasil menyalurkan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan domestik setara dengan 23 juta liter per hari. Bahkan, PGN menyuplai gas bumi ke pembangkit listrik, industri, usaha komersial termasuk restoran, hotel dan rumah sakit, SPBG serta rumah tangga.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi di berbagai daerah, PGN juga telah melakukan sejumlah inisiatif dalam pembangunan dan pengembangan infrastruktur baru di wilayah eksisting maupun daerah baru. Di Semarang, Jawa Tengah, misalnya, PGN sedang melaksanakan pengembangan infrastruktur di Cluster Tambak Aji. Selain itu, juga mengembangkan di wilayah cluster baru, Wijaya Kusuma Semarang.
Penguatan ketahanan energi nasional yang dilakukan PGN tak hanya berbentuk fisik. PGN juga telah meluncurkan program PGNtreprenur, yang merupakan program pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan keterampilan dan skill melalui program pelatihan kewirausahaan. Program ini menjadi bagian dari PGN untuk mendorong pemanfaatan gas bumi bagi pengusaha kecil.
Pada 2014, Floating Storage and Regasification (FSRU) Lampung sudah beroperasi secara komersial yang mengalirkan gas bumi untuk pembangkit listrik PLN. Pada 2015, PGN siap memperluas pasar gas bumi dari FSRU Lampung ke segmen pelanggan lainnya.
"Konversi BBM ke gas bumi mendesak untuk dilakukan karena ketergantungan pada minyak bumi yang mahal dan impor akan membuat rapuh ketahanan energi kita," ungkap Dirkektur Utama PGN Hendi Prio Santoso, beberapa waktu lalu.
Dalam sebuah kesempatan lain, Menteri ESDM Sudirman Said memiliki pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi telah mendorong adanya kemandirian energi. Namun demikian, Indonesia masih sangat mengandalkan energi fosil yang mayoritas didapatkan melalui impor, sehingga rentan dengan perubahan harga pasar.
"Kita harus mulai ancang-ancang meninggalkan energi lama menuju energi baru, di mana dengan besarnya potensi yang kita miliki. Apabila dapat dilaksanakan semua, maka akan lebih besar dari yang kita butuhkan," kata Sudirman, beberapa waktu lalu.
Upaya optimalisasi gas bumi yang dilakukan pemerintah memang patut diapresiasi lantaran Kementerian ESDM berkomitmen membangun infrastruktur. Terdapat lima infrastruktur migas yang menjadi fokus, yaitu pembangunan infrastruktur migas untuk wilayah kepulauan, pipa gas, infrastruktur untuk daerah yang tidak dapat dibangun pipa, jaringan gas bumi untuk rumah tangga, dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).
Kendati demikian, tetap perlu ada paradigma pengelolaan yang dijalankan secara konsisten dengan rencana optimalisasi pengelolaan gas bumi sehingga bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kebutuhan masyarakat di dalam negeri, baik masyarakat maupun bagi industri itu sendiri.
Tak hanya itu, dukungan juga perlu lahir dari payung hukum yang begitu kuat yakni dari undang-undang tentang migas. Revisi UU Migas dinantikan dalam rangka memperkuat ketahanan energi nasional. Bila RUU tersebut sesuai dengan harapan dan berpihak terhadap optimalisasi migas, bukan tidak mungkin mendorong ketersediaan energi yang baik, efisien, dan aman bagi masyarakat. ADB [SUMBER]