PANAS BUMI MAKSIMAL KONTRIBUSI 1.000 MW KE PROGRAM LISTRIK 35.000 MW

[News] 06 Juli 2015 UP45 MigasReview, Jakarta – Para pelaku usaha industri listrik panas bumi akan berkontribusi sebesar 1.000 megawatt (mw) sampai dengan 2019 dari total target peningkatan kapasitas 35.000 mw dalam program yang dicanangkan pemerintah selama lima tahun ke depan.
Upaya ini juga sebagai dukungan kepada program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tengah memprioritaskan energi baru terbarukan (EBT) dalam memenuhi kebutuhan listrik di masyarakat.
“Jadi, dalam lima tahun ke depan kami akan coba realisasikan tambahan kira-kira 1.000 mw dan kita lihat perkembangan selanjutnya. Tahun ini, PLTP yang sudah operasional ada sekitar 1.438 mw dan bila ditambah sekitar 1.000 mw hingga 2019, akan menjadi 2.400 mw. Ini masih di bawah target 4600 karena memang berat,” kata Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut catatan API, dari total kapasitas PLTP sebesar 1.438 mw saat ini, yang sudah operasional sejak 1982 hingga 2015 ini antara lain ada di Kamojang (Jawa Barat) sebesar 1.070 mw, Jawa Tengah ada 60 mw, Sulawesi Utara 80 mw, dan Sumatera sekitar 108 mw.
Pembangunan geothermal sejak start up sampai commercial operation (COD) makan waktu selama 7 tahun. “Untuk membangun 1 unit mw butuh investasi sekitar US$ 4 juta. Jadi kalau 100 mw, investasinya sekitar US$ 400 juta,” kata Abadi.
Menurut Abadi, perkembangan panas bumi di Indonesia masih ketinggalan dibandingkan negara lain yang sangat mendukung dengan penyediaan infrastruktur. “Negara kita tidak mempunyai infrastruktur (panas bumi). Itu masalahnya. Artinya apa? Kalau kita mau membangun di Sumatera, pelabuhannya di mana? Daerah pembangkitnya di mana? Itu bisa ratusan kilometer. Di daerah pegunungan, kami harus buat jalan sendiri. Untuk membuat infrastruktur, investor bisa menghabiskan Rp 1 triliun sendiri,” ungkap Abadi.
Pemerintah Siap Dukung Infrastruktur
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana dalam kesempatan yang sama menyampaikan, pemerintah melalui Kementerian ESDM akan mendorong pengembangan panas bumi dengan menyediakan infrastruktur dan memberikan harga yang kompetitif agar investor mau mengembangkannya.
Menurut Rida, pihaknya juga terus mendorong penyelesaian regulasi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sehingga diharapkan selesai dikerjakan dalam tiga bulan ke depan. Dengan demikian, akan tercapai target rasio elektrifikasi sebesar 85 persen pada 2015 dan 100 persen pada 2020. Selain itu, pada 2025 peran EBT pada kontribusi listrik nasional paling sedikit sebesar 23 persen.
“Semangat tersebut sangat tepat untuk mendukung UU No. 21/2014 tentang usaha penunjang ketenagalistrikan. Undang-undang yang baru ini membawa perubahan dan penambahan penting serta harmonis dengan UU terkait lainnya, antara lain UU Kehutanan,” ungkap Rida.
Seperti diketahui, pemerintahan Jokowi terus mendorong program pembangunan listrik sebesar 35.000 mw secara serentak di seluruh wilayah Indonesia hingga 2019. Hal itu tertuang Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dalam rangka mencapai kapasitas pembangkit listrik sebesar 115 gigawatt (gw) hingga 2025.
“Memang beliau mempunyai target-target yang visioner, dan itu sangat diperlukan sesuai dengan kebijakan energi nasional yang tertuang dalam PP No. 79 Tahun 2014. Hingga 2025, pembangkitan kita harus mencapai 115 gw. Sekarang baru punya 53 gw. Kita masih butuh tambahan sekitar 60 gw,” jelas Abadi.
Masalah yang dihadapi sekarang adalah bagaimana mengejawantahkan program tersebut. “Untuk merealisasikannya perlu uang banyak, perlu effort banyak. Oleh karena itulah  kita perlu menggandeng negara-negara lain, seperti Perancis dengan perusahaan GDF Suez-nya yang sudah joint dengan Supreme Energy. Selain itu, dari Jepang ada Marubeni dan Sumitomo. China dan Amerika juga sangat berminat untuk ikut berinvestasi,” jelas Abadi.
Kendala Sosial
Di samping kendala infrastruktur, ungkap Abadi, hambatan lainnya adalah masalah sosial yang berkaitan dengan pengadaan lahan dan infrastruktur. Butuh peran pemerintah daerah yang lebih kuat untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai betapa pentingnya pembangunan infrastruktur. “Tanpa infrastruktur, kegiatan ekonomi tidak akan bergerak. Tanpa listrik, ekonomi juga tidak akan bergerak. Mereka tidak dapat pekerjaan juga,” kata Abadi.
Intinya, kata dia, perlu edukasi atau pengertian kepada masyarakat betapa pentingnya infrastruktur itu. “Selama ini kita memakai metode persuasif. Kita tidak bisa menggunakan metode-metode yang keras karena ini hubungan antara manusia. Yang penting, pihak-pihak yang memberikan nuansa negatif harus diberi pengertian agar tidak ada lack of communication antara pengambil kebijakan dengan masyarakat,” papar Abadi.
Kendala Pengusahaan
Abadi juga mengeluhkan pengusahaan panas bumi  yang masih belum optimal, yang kendalanya antara lain:
Pertama, persoalan informasi potensi panas bumi yang harus didukung data-data yang valid.
Kedua, masalah tarif listrik dari PLTP yang sesuai keekonomian serta sesuai dengan tingkat risiko eksplorasi dan eksploitasi.
Ketiga, batas waktu dan komitmen pemenang lelang wilayah kerja (WK) panas bumi.
Keempat, peraturan perundangan yang memberikan kepastian, antara lain agar tidak diterbitkannya perundangan baru yang membebani keekonomian proyek, adanya kepastian perizinan di tingkat pusat dan daerah, serta kepastian pengadaan lahan.
“Kami berharap, pemerintah dapat memperlancar regulasinya, memberikan tarif listrik yang sesuai, mempermudah perizinan serta ketersediaan lahan yang cukup dan infrastruktur memadai demi kesejahteraan masyarakat,” ungkap Abadi.
Wakil Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) Suryadarma mengatakan, dulu pengembangan geothermal masih terhambat akibat banyaknya regulasi yang membebani aspek bisnisnya.
“Kita niat, misalnya dari aspek bisnis dan aspek SDM, kita ingin membangun geothermal sebesar 1400 mw. Yang sudah ter-install 6.000 mw atau 9.000 mw. Kalau kita mau mencapai jumlah itu, berapa kira-kira SDM yang kita butuhkan? Itu pertanyaannya. Kalau tidak ada SDM, lalu siapa yang akan membangun?” tutur Suryadarma kepada MigasReview.
Menurut Suryadarma, pembangunan 1 mw PLTP butuh 1 tenaga ahli. “Walaupun membangun 30 mw mungkin butuh lebih dari 30 orang, kan tidak mungkin harus seperti itu. Tidak mungkin juga membangun 400 mw harus menyediakan 400 orang tenaga ahli. Tetapi kalau dipukul rata, kira-kira perhitungan internasionalnya seperti itu. Kenyataannya, sekarang kita punya 1.400 mw yang sudah eksisting. Kami hitung, jumlah tenaga kerja yang expert ada 1.300 orang. Artinya hampir sama dengan teori bahwa 1 mw itu butuh 1 orang tenaga ahli. Sekarang, kalau mau membangun 9.000 mw, berarti harus ada 9.000 orang tenaga ahli,” tutur Suryadarma.
Sekarang, perusahaan geothermal yang sudah eksisting antara lain Chevron, Star Energy, Supreme Energy, dan Pertamina.  “Lalu muncullah perusahan-perusahaan baru untuk menggerakkan WK panas bumi  baru. Pertanyaannya, berapa tenaga ahli yang mereka punya? Berapa mw yang mau mereka kembangkan. Kalau itu tidak ada, artinya antara rencana dan SDM sulit bisa direalisasikan. Itu dari sisi SDM,” kata dia.
Dari sisi bisnis, pengembang butuh perizinan dan investasi. “Bagaimana mengembalikan modal? Dari mana sumber modalnya? Kalau sumber modalnya ada di dalam negeri, mungkin kita tidak akan kesulitan. Tapi kalau butuh dana dari luar, bagaimana mengembalikannya? Pengembaliannya kan pasti dari harga jual. Kalau harga jual tidak match, tentu agak sulit untuk bisa mendapatkan pengembalian. Kalau sulit mendapatkan pengembalian, berarti sulit juga mendapatkan pendanaan,” urai Suryadarma.
Untuk harga, menurut Suryadarma, telah diselesaikan dengan penetapan tarif yang lebih sesuai dengan keekonomian. “Dulu harganya 6-7 sen. Sekarang sudah ada Permen ESDM yang baru, harganya 11 sen. Itu kelihatannya memberikan daya tarik untuk geothermal. Ini penting agar sesuai dengan biaya invetasi. Sekarang untuk 1 mw, butuh US$ 3-4 juta,” kata Suryadarma.
Ide Jaminan dalam APBN
Meski Permen ESDM tentang harga sudah ada, namun jaminannya belum dibicarakan. “Karena itu ada pemikiran METI untuk mendorong pemerintah agar jaminan ini dimasukkan dalam APBN. BBM saja masuk dalam APBN, tapi mengapa renewable energy tidak masuk APBN? ” tanya Suryadarma.
Menurut Suryadarma, rencana pemerintah untuk menganggarkan EBT dalam APBN sekitar Rp 10 triliun pada tahun depan akan menjadi tantangan yang luar biasa. “Penyelesaian harus kompehensif. Simpul-simpulnya ada di Kementerian ESDM, baik regulasi, perizinan, maupun pendanaan,” kata dia.
Menurut Suryadarma, pengembangan listrik dari panas bumi  memiliki karakteristik berbeda dengan sumber energi lain. “Di panas bumi,  dalam satu tahun belum tentu ada, tetapi di tahun berikutnya bisa 400 mw, bisa 700 mw. Karena ini sistemnya. Infrastruktur disiapkan lalu di konstruksikan. Kita punya potensi 29 gw. Sekarang bagaimana upaya kita agar dari potensi 29 gw itu bisa dibuktikan,” kata Suryadarma.
Dia menambahkan, sulit untuk memenuhi target hingga 2025 di mana listrik dari panas bumi sebesar 115 gw jika tidak ada upaya yang luar biasa. “Kelihatannya agak sulit menurut saya. Effort-nya harus luar biasa. Kita tidak bisa bekerja sendiri. Semuanya harus bahu-membahu. Mulai dari stakeholder sampai masyarakat yang mau menerima keberadaan kegiatan pengeboran panas bumi ,” ungkap Suryadarma.

Urai Hambatan

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Nur Pamudji mengatakan, EBTKE ConEx 2015 yang akan diselenggarakan pada 19-21 Agustus 2015 bertujuan untuk mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sehingga semua pihak perlu mengurai hambatan, baik teknis maupun dan non teknis.
“Kita bisa menjadikan momentum yang lebih baik untuk mendorong EBTKE di Indonesia. Ini akan menjadi ajang bertemunya para pemerhati EBTKE dan memperbaiki iklim di Indonesia. Saya cukup yakin acara ini dapat berlangsung baik dan akhirnya sesuai dari kebijakan pemerintah yang dibutuhkan untuk mempercepat pencapaian target Kebijakan Energi Nasional,” ungkap Nur.
Rida menambahkan, dengan semakin menipisnya cadangan energi fosil Indonesia, Indonesia harus segera beralih kepada penggunaan EBT, sekaligus berupaya meningkatkan upaya konservasi energi. Apabila hal ini tidak segera dilakukan, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia dikhawatirkan mengalami krisis energi. Selain itu, pemanfaatan EBT dapat mengurangi dampak pemanasan global atau mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Indonesia berkesempatan untuk memanfaatkan EBT mengingat kita berlimpah potensi sumber daya seperti panas bumi, hidro, surya, bayu, biomassa dan lainnya,” ungkap Rida. [SUMBER]