[News] 03 Agustus 2015 UP45 MigasReview, Jakarta – Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) mendesak pemerintah untuk menjelaskan mekanisme pembelian minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) dari luar negeri, bahwa hal itu memerlukan proses, prosedur, dan mekanisme yang cukup lama.
Dengan demikian, masyarakat yang selama ini tidak pernah mendapat informasi menjadi jelas dan tidak bertanya-tanya mengapa ketika harga minyak turun, harga jual BBM tidak ikut turun.
"Membeli minyak mentah dan atau produk jadi dalam bentuk BBM tidak seperti berbelanja produk lain yang siap pakai atau siap konsumsi dalam waktu singkat. Ketika hari ini harga minyak turun dan badan usaha membeli minyak dari produsen di luar negeri, maka minyak yang dibeli hari ini akan bisa sampai ke tangan konsumen sekitar 1-1,5 bulan ke depan," ujar Direktur Puskepi Sofyano Zakaria di Jakarta, Sabtu (1/8).
Menurut dia, pada dasarnya belanja atau membeli minyak mentah ataupun produk minyak pasti akan bertumpu pada stok yang sudah dimiliki badan usaha, baik minyak yang masih dalam proses pengiriman dari negara penjual maupun stok yang ada pada depo penyimpanan.
"Depo tempat menyimpan minyak yang ada saat ini, yang dimiliki badan usaha Pertamina pada kenyataannya memiliki kapasitas tamping yang sangat terbatas sejak lama. Ini juga merupakan salah satu penyebab mengapa ketika harga minyak dunia turun, badan usaha seperti Pertamina tidak bisa langsung seketika memborong minyak dalam jumlah besar," kata Sofyano.
Selain itu, membeli minyak dalam jumlah besar ketika harga sedang turun, juga berisiko rugi besar karena sangat bisa terjadi harga minyak akan kembali turun sementara badan usaha, misalnya, telanjur memborong minyak saat itu.
"Ini pasti menimbulkan kerugian besar yang kenyataannya menjadi tanggung jawab badan usaha, bukan tanggung jawab pemerintah," tutur Sofyano.
Harusnya, kata Sofyano, penyediaan stok BBM nasional, baik berupa crude oildan BBM, menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan ke perusahaan seperti Pertamina. "Negara yang harus menyiapkan anggaran untuk membeli minyak dan kemudian barulah menjualnya ke badan usaha," jelas dia.
Dengan demikian dan dengan kemampuan keuangan yang ada pada pemerintah, dapat dibeli crude atau BBM dalam jumlah besar yang menjadi kunci ketahanan energi bagi bangsa ini.
Sebagaimana pembelian produk lain yang nilainya sangat besar, menurut Sofyano, membeli minyak harus pula melalui proses tender dan pengikatan perjanjian yang setidaknya butuh waktu sekitar 10 hari.
Kemudian, ketika minyak mentah dibeli dari negara luar, misalnya dari Arab Saudi, diperlukan lagi waktu untuk mengangkut minyak lewat laut minimal sekitar 2 mingguan, hingga sampai di dermaga pelabuhan minyak atau kilang milik badan usaha yang ada di beberapa daerah di Indonesia.
"Selanjutnya, ketika minyak mentah tersebut diproses menjadi produk BBM di kilang, setidaknya butuh waktu sekitar 7 hari," ungkap Sofyano.
Setelah itu, ketika minyak sampai di dermaga pelabuhan, masih ada lagi waktu tunggu agar minyak yang dibeli dari negara luar atau setelah diolah di kilang, bisa masuk ke dalam tangki timbun minyak yang ada di depo-depo badan usaha.
"Ini perlu waktu sekitar 5 hari sampai dengan 7 hari menunggu kosongnya tangki timbun yang ada," ucap Sofyano.
Oleh karenanya, ketika minyak yang dibeli pada saat harga turun itu, karena proses tersebut, maka BBM akan sampai di tangan konsumen paling tidak memakan waktu antara 1-1,5 bulan.
"Dan pada saat BBM tersebut masuk ke tangki kendaraan konsumen, sering terjadi harga minyak sudah berubah, naik kembali atau turun lagi. Dan ketika turun lagi, pemerintah tetap menjual dengan harga sesuai harga pembelian sebelumnya atau tidak menurunkan kembali harga jual," tutur Sofyano.
Itulah, sebabnya mengapa perhitungan harga jual oleh Badan Usaha senantiasa didasarkan pada HIP (harga indeks pasar), misalnya MOPS, selama 1 bulan meskipun bisa saja perubahan harga dilakukan 2 minggu sekali.
"Ketika harga minyak naik terus sehingga HIP rata-rata sebulan juga naik, maka seharusnya diikuti dengan harga jual BBM yang naik. Di sinilah kemudian terbukti pemerintah pada 27 Maret 2015 menetapkan harga jual di bawah harga pasar," kata Sofyano.
Oleh karena itu, ungkap Sofyano, untuk menurunkan harga jual pada saat ini, harus dilihat kembali apakah penurunan harga minyak itu sudah mengakibatkan rata-rata HIP bulanan sudah di bawah rata-rata HIP pada waktu penetapan harga 27 Maret 2015.
"Jika belum, maka harusnya harga jual belum perlu turun," terang Sofyano.
Tetapi konsumen BBM, kata Sofyano, sudah terbiasa dimanja dengan sikap pemerintah yang berkuasa sebelumnya, sejak Orde Baru, yang "meninabobokan" konsumen dengan subsidi BBM demi mulusnya masa berkuasa.
Ketika harga minyak naik dan harga jual BBM dikoreksi naik, konsumen akan protes keras walaupun dalam undang-undang, baik UUD 1945 maupun UU 22 Tahun 2001, sudah jelas dinyatakan hanya golongan tertentu saja yang wajib disubsidi pemerintah.
"Karenanya, program revolusi mentalnya Jokowi harusnya juga merambah ke konsumen BBM. Konsumen harus diinfokan secara jelas dan benar bahwa ketika masyarakat menghendaki harga BBM turun karena harga minyak dunia turun, itu berarti penetapan harga BBM sudah menggunakan acuan yang mengacu kepada harga pasar nyata," sebut Sofyano.
Artinya jika konsumen sudah menerima itu, artinya mereka harus "legowo" ketika harga minyak naik maka pada saatnya, harga jual BBM pun harus naik pula.
Harga BBM Tetap di Agustus
Sebelumnya, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said menegaskan bahwa harga BBM selama Agustus tidak akan ada perubahan atau tetap seperti yang berlaku pada Juli. Penegasan tersebut diutarakan Sudirman Said saat silaturahmi dengan wartawan sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (31/7), seperti dilansir laman Kementerian ESDM.
“Tadi saya tandatangan surat pemberitahuan kepada Menko Perekonomian bahwa Agustus tidak ada perubahan harga BBM,” kata Sudirman.
Menurut dia, pemerintah memilih tidak ada perubahan harga BBM karena ingin ingin masyarakat mendapatkan stabilitas harga BBM terlebih dahulu.
Ditegaskannya, tidak ada kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak. Sekarang, kata dia, sikap pemerintah soal kebijakan harganya adalah jangan sampai merugikan Pertamina. Oleh karena itu harus ada cara untuk memeberikan gkompensasi.
Selanjutnya, harga BBM mungkin akan ditinjau lebih lama. November mendatang barulah pemerintah akan memutuskan karena pada bulan itu tepat setahun kebijakan subsidi diputuskan. Dengan demikian, pemerintah mempunyai pola yang bisa dilihat. “Kecenderungannya mungkin enam bulan sekali harga akan ditinjau,” ujar Sudirman.
Penegasan terkait harga BBM selama Agustus juga diutarakan Direktur Pembinaan Program Minyak Dan Gas Bumi Agus Cahyono Adi. Dikatakannya, pada Agustus ini tidak ada perubahan harga BBM, baik untuk Premium maupun Solar, dengan pertimbangan agar jangan terlampau sering berubah sehingga sektor riil nyaman merencanakan penggunaanya.
Meski harga minyak dunia saat ini cenderung turun, pemerintah membuat kebijakan untuk menetapkan harga tetap karena berdasarkan perhitungan kumulatif Januari hingga Juli, masih ada defisit dalam operasional kurang lebih Rp 2,5 triliun. [SUMBER]