[News] 30/06/2015 Migas review, Jakarta – Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah untuk setiap transaksi di dalam negeri seharusnya tidak berlaku di sektor minyak dan gas karena akan menjadi kontra produktif dan tidak masuk akal.
PBI yang akan diterapkan mulai 1 Juli 2015 tersebut membuat kalangan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) resah. Pasalnya, banyak dari transaksi yang mereka gunakan selama ini memakai dolar. Mereka meminta ada pengecualian atas peraturan tersebut.
Para KKKS mendesak dilakukannya pertemuan tingkat tingi antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, yang didampingi Dirjen Migas ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja dan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, dengan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. Bahkan, jika dibutuhkan, agenda ini bisa dimasukkan dalam agenda sidang kabinet.
Direktur Pusat Kerjasama Minyak dan Gas Universitas Trisaksi Agus Guntoro mengatakan, secara normatif, migas merupakan sektor pada karya dan padat teknologi. “Sektor ini high cost dan high technology, di mana sebagian besar teknologi didatangkan dari luar negeri dengan menggunakan dolar, mulai dari rig sampai software,” kata Agus kepada MigasReview, Senin (29/6).
Kontrak tender dan jual beli minyak pun menggunakan dolar. “Mereka membayar mayoritas biaya operasional dengan memakai dolar dan mendapatkan hasil penjualan minyak juga dalam bentuk dolar. Melihat konteks ini, harusnya ada pengecualian pada PBI tersebut. Dengan banyaknya transaksi yang menggunakan dolar, kalau dirupiahkan akan memicu banyak masalah. PBI ini tidak masuk diakal,” kritik Agus.
Sedangkan pengamat energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa mendukung kebijakan BI tersebut. “Selama transaksi di sektor migas dilakukan di Indonesia, ya (seharusnya) menggunakan rupiah agar dolar tidak terbang ke luar negeri,” kata Iwa kepadaMigasReview.
Menurut dia, industri migas merasa kesulitan menerapkan aturan ini karena mereka tidak memiliki kemauan untuk menggunakan rupiah. “Mereka merasa lebih safe kalau pegang dolar. Pengusaha jangan pegang dolar saja. Mereka juga harus pegang rupiah,” kata Iwa.
Sebelumnya SKK Migas berharap, BI tidak menerapkan peraturan penggunaan rupiah untuk transaksi di sektor migas karena itu dapat memengaruhi iklim investasi di sektor hulu.
"SKK Migas mengusulkan ke BI, beberapa hal yang tidak terakomodasi di dalam PBI agar lebih terakomodasi lagi. Agar perkecualian-perkecualian itu bisa didefinisikan lebih detail lagi. (Untuk pengelolaan) sumber-sumber di dalam negeri yang awalnya mereka investasi pakai dolar AS, ya wajar juga kalau pakai dolar AS (untuk transaksi) dan aspek-aspek lainnya. Kami telah melakukan komunikasi aktif dengan pihak BI untuk bernegosiasi," ujar Kepala Biro Humas SKK Migas Elan Biantoro beberapa waktu lalu.
Elan menambahkan, selama negosiasi belum selesai, pihaknya menganggap pemberlakuan PBI mulai 1 Juli tersebut bisa ditunda. “Setelah diputuskan, baru kami akan tetapkan untuk transaksi-transaksi selanjutnya," tambahnya.
Jadi, kata Elan, BI agar memahami hal itu sehingga tidak ada sanksi pada mitra-mitra SKK Migas. “Kalau kebijakan BI itu dipaksakan, itu akan menjadi kontra produktif karena membuat investor di Indonesia menjadi tidak nyaman. Kami mengetahui seperti apa transaksi itu, baik melalui rupiah maupun foreign currency. Itu yang membuat SKK Migas ikut memperjuangkan untuk memberikan pemahaman kepada BI,” kata Elan. [SUMBER]