[News] 13 Juli 2015 UP45 MigasReview, Jakarta – Salah satu kendala dalam pengembangan panas bumi di Indonesia adalah infrastruktur yang belum terbangun. Menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) yang juga anggota Dewan Energi Nasional (DEN)Abadi Poernomo, infrastruktur panas bumi yang seharusnya hanya sebesar 2-5persen dari total investasi, akibat banyaknya keterbatasan, bisa melonjak jadi 10persen dari nilai investasi.
Berikut penuturan Abadi kepada MigasReview beberapa waktu lalu.
Dibandingkan Indonesia, negara-negara lain yang juga memiliki potensi panas bumi yang besar sangat mendukung pengembangan sumber energi tersebut dengan menyediakan infrastruktur. Bisa diceritakan, seperti apa dukungan di negara-negara lain itu? Apakah pembangunan infrastruktur di Indonesia harus menunggu pemerintah? Haruskah independent power producers (IPP) menyediakan sendiri?
(Selama ini) kita terbuai oleh kondisi subsidi (untuk BBM). Akibatnya, dana-dana pemerintah itu habis untuk subsidi sehingga kita kekurangan dana ketika harusmembangun infrastruktur. Sekarang begini, misalkan saya mau membangun PLTPdi Bengkulu. Bagaimana dengan pelabuhannya? Di sana ada pelabuhan tapi tidak bisa didarati oleh kapal-kapal yang besar sementara muatan kami itu yang paling kecil saja 20 ton. Kami butuh kapal-kapal yang besar agar bisa memuat barangsekaligus dalam volume yang besar. Kalau satu barang kami saja beratnya bisa 20 ton, artinya satu kapal bisa memuat ratusan ton. Akhirnya, kami mengangkut barang dari pelabuhan di Palembang yang jauhnya sekitar 600 km dari Bengkulu. Atau dari Padang. Artinya, biaya utama menjadi naik. Setelah itu, kami lihat infrastruktur jalan dan jembatan. Dengan berat barang-barang kami yang paling rendah 20 ton, apakah jembatan-jembatan itu kuat untuk dilewati? Kalau nanti jembatannya ambruk, artinya seluruh perekonomian di Sumatera akan terganggu. Inilah yang menjadi keprihatinan kami. Sehingga, pada saat kita mau investasi di daerah-daerah yang seperti ini, kami mencoba memikirkan bagaimana kami meng-upload barang itu dari pelabuhan mana. Kedua, bagaimana kami memperkuat infrastruktur. Jadi akhirnya, para IPP yang harus memperbaiki jembatan, yang sebenarnya secara akuntansi tidak boleh karena bukan milik kami. Jalan itu kanmilik negara. Harusnya pemerintah yang menyediakan infrastruktur (jalan). Bagaimana jembatan yang cuma bisa kuat menampung muatan 5 ton, lalu saya muati 20 ton. Kan nggak bisa. Terpaksa kami yang harus memperkuat jembatandan jalan itu. Biaya untuk jembatan dan jalan itu bisa beberapa ratus miliar lagi karena panjangnya bisa 600 km, dengan gorong-gorong, jalannya sempit sehinggatruknya nggak bisa bermanuver. Itu satu.
Kedua, daerah-daerah operasi kami kan di gunung. Ini kan nggak ada jalan masuknya. Lalu, siapa yang harus buat? Ya investor. Jadi kadang-kadang investor itu membuat jalan masuk sampai 60 km. Nah itulah kenapa energi geothermal mahal, karena infrastrukturnya tidak ada. Kalau dibandingkan dengan Selandia Baru yang sumurnya di pinggir jalan sehingga tempatnya flat, sementara jalan-jalannya kelas satu yang melingkupi semuanya. Jadi investor hanya bikin jalan untuk masuk ke dalam paling cuma 1-2 km. Nah itulah yang menjadi kendala kami. Makanya, porsi infrastruktur yang seharusnya hanya 2-5 persen dari total investasi, bisa melonjak jadi 10 persen.
Bagaimana dengan masalah pendanaan di sektor panas bumi? Apakah perbankan Indonesia cukup mendukungnya, ataukah harus bergantung pada bank luar negeri?
Kalau sektor pendanaan, sebetulnya lebih banyak dari bank-bank offshore. Bank-bank di Indonesia belum banyak membangun kapabilitas untuk segala mitigasi risikonya. Jadi belum banyak yang mendanai. Kalau dari bank-bank luar sudah cukup banyak, bisa itu Bank Dunia, ADB, dan masih banyak lagi lainnya.
Kabarnya banyak negara yang ingin mengembangkan panas bumi di Indonesia. Bagaimana mereka melihat potensi panas bumi di Indonesia?
Saya katakana bahwa potensi panas bumi di Indonesia itu yang terbesar. Kedua,ada visi pemerintah untuk mengembangkan fast track program (FTP). Ketiga,asing menyebut regulasi di Indonesia sudah mulai cukup bagus. Yang masih menjadi kendala adalah dari masalah sosial. Artinya, sudah ada tiga poin yang mereka lihat. Jadi ini sudah saatnya bagi mereka berinvestasi di Indonesia terutama pada energi baru terbarukan. Kalau kita lihat, geothermal yang berkembang itu ada di Kenya, Filipina dan Amerika Serikat. Mereka mempunyai kelebihan dari sisi tenaga ahli. Kalau kita mau mengembangkan lebih dari 60 wilayah kerja (WK), di mana 1 WK butuh 30 engineer, maka kita butuh 1.800engineer yang harus disiapkan. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) kan maudiberlakukan akhir tahun ini. Kalau kita sendiri tidak dapat memenuhi tenaga kerja, mereka akan masuk dengan penguasaan teknologi mereka. Investor juga melihat suatu peluang untuk membawa tenaga ahli ke Indonesia, bekerjasama dengan orang Indonesia untuk bisa mengembangkan geothermal.
Kendala lainnya adalah ongkos produksi yang mahal. Dulu, produksi panasbumi membutuhkan biaya US$ 7 juta untuk satu sumur. Namun sekarangkabarnya sudah mencapai US$ 10 juta. Bagaimana industri panas bumi menyikapi hal tersebut?
Biaya US$ 10 juta itu tidak secara rule of tumb (aturan main yang paling sederhana, red). Rule of tumb-nya itu sekitar US$ 7-8 juta. Kalau US$ 10 juta ituadalah sampai pembuatan infrastruktur yang demikian berat. Makanya saya sampaikan, kalau satu sumur sama dengan US$ 10 juta, maka harga panas bumiakan makin mahal. Kajian kami sebenarnya US$ 7-8 juta. Biaya itu belum termasuk untuk membangun pembangkitnya. Itu buat sumurnya saja dan alat-alatnya yang didatangkan dari luar negeri. Itu yang masuk dalam kalkulasi ekonominya.
Kalau sudah US$ 10-11 juta, itu sudah tidak masuk kalkulasi ekonomi karenaterlalu tinggi. Kecuali, kalau dia menghasilkan volume metrik uap panas bumiyang cukup bagus. [SUMBER]