KEBIJAKAN HARGA BBM TIDAK KONSISTEN, PERTAMINA MERUGI

[News] 30 Juli 2015 UP45MigasReview, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan, meskipun harga jual BBM di SPBU diperoleh berdasarkan formula harga yang ditetapkan sesuai ketentuan dalam Perpres No.191 Tahun 2015 dan Permen ESDM No.39/2014, namun dalam praktiknya, ketentuan dalam peraturan tersebut tidak dijalankan secara konsisten.
"Sehingga antara lain berdampak pada kerugian BUMN dan terganggunya ketahanan energi," kata Marwan di Jakarta, Rabu (29/7).
Menurut dia, jika diurut dari pembelian produk minyak sesuai Harga Index Pasar (HIP) atau Mean of Platts Singapore (MOPS), kemudian formula dalam Permen ESDM No.39 diterapkan, maka harga jual BBM dapat dihitung berdasarkan berbagai komponen biaya yang di antaranya:
  • Harga pokok produksi = harga pembelian sesuai HIP/MOPS + biaya transportasi
  • Harga pokok penjualan = harga pokok produksi + biaya penyimpanan + biaya distribusi
  • Harga dasar = harga pokok penjualan + margin Pertamina + margin SPBU
  • Jadi harga jual BBM = harga dasar + PPN + PBBKB + Iuran BPH
"Nilai komponen biaya yang menentukan harga jual BBM antara lain adalah biaya transportasi produk  sebesar Rp 286/liter, biaya distribusi, biaya penyimpanan dan mobil tangki Rp 220/liter," ungkap Marwan. Adapun volume 1 barel BBM setara dengan 159 liter.
Selain itu, kata Marwan, terdapat pula pajak (PPN) yang besarnya 10 persen, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen, dan juga iuran untuk BPH Migas Rp22/liter serta kompensasi biaya distribusi sebesar 2 persen untuk BBM Non-Jamali.
Sedangkan dari simulasi harga yang dilakukan untuk periode 25 Juli – 22 Juli 2015, pada harga rata-rata MOPS US$ 73.56/barel dan US$ = Rp 13.265, diperoleh harga pokok produksi Rp 6.635/liter, harga pokok penjualan Rp 6.891/liter dan harga dasar Rp 7.215/liter.
Sehingga, dengan kompensasi biaya distribusi ke luar Jawa-Madura-Bali Rp 158/liter, maka harga jual BBM Rp 8.479/liter, dibulatkan menjadi Rp 8.500 (untuk wilayah Jamali diperoleh harga jual Rp 8.750/liter).
Menurut Marwan, simulasi di atas menunjukkan bahwa harga jual BBM tidak sekadar ditentukan oleh harga beli produk atau bahan baku, tetapi juga harus memperhitungkan berbagai komponen lain yang jumlahnya cukup signifikan, terutama biaya distribusi, penyimpanan dan pajak.
"Terlihat bahwa selisih antara harga jual BBM (Rp 8500/liter) dengan harga beli produk (Rp 6.635/liter) menjadi cukup besar, yakni Rp 1.865/liter. Secara merata, harga jual BBM di Indonesia adalah harga MOPS ditambah alpha (margin ditambah berbagai biaya) yang besarnya 16-17 persen," sebut Marwan.
Dengan demikian, lanjut Marwan, menjadi tidak relevan jika ada pihak-pihak atau kalangan yang mempersoalkan tingginya harga BBM tanpa memperhitungkan komponen biaya pembentuk harga.
"Sebaliknya, menjadi tugas pemerintah dan Pertamina-lah untuk menyosialisasikan secara transparan seluruh komponen biaya pembentuk harga dan formula yang dipergunakan, sehingga berbagai hal maupun persepsi yang tidak tepat dapat dicegah atau dikurangi," tutur Marwan.
Selanjutnya, jika memang pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah menganggap harga BBM terlalu tinggi atau perlu dikurangi, maka hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan menguragi atau bahkan menghilangkan pajak (PPN dan PBBKB) yang saat ini nilainya 15 persen terhadap harga dasar.
"Pengurangan atau penghilangan pajak dapat pula berfungsi sebagai substitusi terhadap subsidi BBM yang saat ini sudah terlanjur dicabut," ujar Marwan.
Sebaliknya, jika ingin menerapkan pola subsidi yang lebih berkeadilan, pemerintah dapat pula menerapkan PPN dan PBBKB secara selektif dengan nilai yang lebih tinggi kepada golongan yang mampu. Dengan demikian, upaya untuk menerapkan pola subsidi yang tepat sasaran mungkin dapat dicapai.
Faktor Penguatan Dolar
Untuk itulah, menurutnya, mekanisme penerapan PPN dan PBBKB yang adil dan efektif perlu dikaji lebih lanjut. Sebagai misal, variabel utama yang menjadi penentu harga BBM adalah harga beli produk yang mengikuti perubahan MOPS dan kurs Rp terhadap dolar AS.
Karena itu, lanjut Marwan, walaupun pada periode tertentu harga minyak dunia/MOPS turun, namun karena saat yang sama terjadi peningkatan kurs US$ yang signifikan, maka harga jual BBM tidak otomatis turun, atau bahkan harus naik.
"Fluktuasi nilai kedua variabel ini sering terabaikan, sehingga timbul persepsi dan penilaian yang tidak akurat. Karena itu pemerintah perlu proaktif menjelaskan status harga BBM jika sewaktu-waktu terjadi perubahan harga minyak dan atau kurs Rp yang signifikan," kata Marwan.
Namun, terlepas dari itu, kata Marwan, pemerintah memang perlu meningkatkan kinerja ekonomi agar kurs rupiah meningkat, sehingga turunnya harga minyak saat ini dapat dinikmati seluruh rakyat.
Apalagi, ternyata pemerintah tidak konsisten menjalankan peraturan yang dibuat sendiri. Harga keekonomian BBM yang seharusnya disesuaikan berdasarkan perubahan harga minyak dunia dan kurs setiap bulan, ternyata tidak dikoreksi sesuai formula yang ada.
"Tampaknya hal ini terjadi lebih karena pertimbangan politik dan kekhawatiran menghadapi protes publik," ungkap Marwan.
Inkonsistensi sikap pemerintah tersebut, menurut Marwan, memaksa Pertamina harus menjual BBM pada harga yang lebih rendah dari harga keekonomian. Akibatnya, karena anggaran subsidi BBM tidak lagi tersedia di APBN, maka selisih harga tersebut harus ditanggung oleh Pertamina berupa kerugian dari penjualan BBM Premium dan Solar hingga triliunan rupiah setiap bulan. "Faktanya sejak Januari 2015 hingga Juli 2015 total kerugian Pertamina telah mencapai Rp 12,63 triliun," sebut Marwan.
Dengan memperhatikan berbagai hal di atas, Marwan memberikan rekomendasi agar pemerintah melakukan berbagai langkah, di antaranya
  1. Pemerintah secara proaktif harus melakukan sosialisasi tentang pola keekonomian dan formula harga BBM yang berlaku, terutama terkait dengan akibat perubahan harga minyak dan kurs.
  2. Menetapkan harga BBM secara periodik misalnya setiap 3 bulan atau 6 bulan guna mencegah berbagai dampak buruk akibat perubahan harga yang terlalu cepat.
  3. Konsisten menjalankan peraturan yang berlaku, terutama dalam penyesuaian harga sesuai formula berlaku atau memberikan subsidi jika diperlukan, tanpa harus mengorbankan BUMN.
  4. Mengganti kerugian yang dialami Pertamina melalui berbagai cara, termasuk dengan mempertahankan harga jual BBM saat harga minyak dunia turun, membayar melalui APBN-P 2015 atau APBN 2016, dan lainnya.
  5. Menerapkan batas atas dan bawah harga BBM guna mengantisipasi fluktuasi harga yang signifikan di masa mendatang.
  6. Memberlakukan sistem dan dana stabilisasi harga BBM sebagai pengganti subsidi BBM karena masih banyaknya masyarakat yang tidak mampu dan belum berfungsinya sistem subsidi langsung tepat sasaran.
  7. Menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) di Pertamina melalui perubahan status menjadi non-listed public company.
Berdasarkan rekomendasi di atas pemerintah dituntut untuk menetapkan kebijakan harga BBM secara komprehensif yang mempertimbangkan berbagai faktor dan variabel penentu, termasuk aspek-aspek keadilan, kemampuan keuangan negara, pola subsisdi, kebutuhan diversifikasi energi, ketahanan dan kemandirian energi, kebutuhan infrastruktur, dan lainnya.
Selanjutnya, kebijakan harga hendaknya tidak menjadikan aspek politik dan pencitraan menjadi penentu yang signifikan sebagaimana terjadi selama ini. Untuk itu diperlukan adanya konsensus nasional seluruh kalangan masyarakat. [SUMBER]