[News] 02 Juli 2015 MigasReview, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Bank Indonesia (BI) sepakat bahwa Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 Tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di sektor energi tidak bisa diterapkan sepenuhnya. Sedianya, peraturan yang ditetapkan pada 31 Maret 2015 itu berlaku sepenuhnya mulai 1 Juli 2015.
"Memahami karakteristik khusus yang dimiliki oleh industri di sektor energi mengakibatkan implementasi PBI tersebut untuk keseluruhan transaksi tidak bisa sekaligus dan membutuhkan pendalaman terhadap karakteristik transaksi," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik KESDM Dadan Kusdiana, Selasa (1/7).
Karakteristik transaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Kategori 1 : Transaksi yang bisa langsung menerapkan ketentuan PBI, misalnya sewa kantor/rumah/kendaraan, gaji karyawan Indonesia, dan berbagai support services.
- Kategori 2 : Transaksi yang masih membutuhkan waktu agar bisa menerapkan ketentuan PBI misalnya: bahan bakar (fuel), transaksi impor melalui agen lokal, kontrak jangka panjang, kontrak multi-currency.
- Kategori 3 : Transaksi yang secara fundamental sulit memenuhi ketentuan PBI karena berbagai faktor, antara lain regulasi pemerintah. Misalnya: gaji karyawan ekspatriat, drilling service, dan sewa kapal.
Terhadap transaksi kategori 1 di atas akan diberikan waktu transisi paling lambat 6 bulan.
Dadan menerangkan, terkait jenis transaksi yang masuk kategori 2, transaksi yang karena sebuah perjanjian dengan jangka waktu tertentu tetap bertransaksi dengan mata uang asing, maka akan dijajaki kemungkinan perubahan perjanjian.
Sedangkan terkait jenis transaksi kategori 3, pelaku usaha dapat melanjutkan transaksi dengan mata uang asing.
Dadan menambahkan, Kementerian ESDM dan BI akan membentuk suatu gugus tugas terkait implementasi peraturan ini yang akan memfasilitasi dan meyakinkan bahwa dunia usaha tidak mengalami kesulitan dan kegiatan usaha dapat berjalan normal.
"Kementerian ESDM dan BI akan mengeluarkan tata cara pelaksanaan mengenai implementasi PBI nomor 17/3/PBI/2015 di sektor energi," kata Dadan.
Picu Pembelian Dolar
Presiden Indonesia Geothermal Association (INAGA) Abadi Poernomo mengatakan, bahwa jika PBI tersebut diterapkan secara menyeluruh akan memicu pembelian dolar.
“Kami berinvestasi dengan dolar. Kalau harus menggunakan rupiah dalam transaksi, ya kami harus membeli dolar untuk mengembalikan hutang. Begitu juga dengan gaji pegawai orang luar negeri jika dibayar dengan rupiah, mereka akan membeli dolar lagi karena rupiah tidak laku di negara mereka,” ucapnya saat wawancara dengan MigasReview, Rabu (1/7).
Dia menjabarkan permasalahan lain yaitu selisih kurs dolar dalam fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar. “Misalnya, saya buat invoice pada tanggal hari ini untuk tagihan bulan ini. Katakanlah invoice-nya US$1000 dikalikan kurs yang ada saat ini. Invoice bisa dibayarkan mungkin 20 hari ke depan, satu bulan, atau bisa juga dibayarkan dua bulan kemudian. Ketika waktu pembayaran kursnya sudah berbeda lagi. Nah, perbedaan kurs ini siapa yang tanggung? Kalau kami yang menanggung, kami tidak mau, karena kami belanja pakai dolar. PLN pun tidak mau menanggung selisih kurs itu. Di situlah tidak jelasnya PBI itu,” ucapnya di Gedung Badiklat ESDM.
Dia mengatakan transaksi menggunakan dolar dan transaksi yang sudah terikat kontrak dalam dolar harus diberi pengecualian. “Peraturan ini memberatkan. Kemarin kami sudah mengirimkan surat keberatan melalui Direktorat Jenderal EBTKE Kementrian ESDM,” tuturnya.
Untuk menghindari tansaksi dolar terlalu banyak di Indonesia, katanya, tidak semua transaksi dapat digeneralisasi, bisa pakai dolar atau pakai rupiah saja.
“Ada persewaan mobil yang menggunakan dolar, padahal membeli mobilnya di Indonesia. Begitu juga dengan sewa gedung yang investasinya dengan rupiah dan pemeliharaan dibayar rupiah, tapi pembayaran sewanya dengan dolar padahal tidak ada manajemen gedung yang orang bule,” tutupnya.
Sementara itu, lembaga pemerhati kebijakan energi, Indonesia Energy Monitoring (Indering) mendukung pelaksanaan PBI tersebut.
Dikatakan Direktur Eksekutif Indering Zuli Hendriyanto, PBI itu menjelaskan bahwa rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan simbol kedaulatan NKRI. Untuk mewujudkan kedaulatan rupiah di wilayah NKRI dan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar rupiah, perlu diterapkan kebijakan kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi di wilayah NKRI.
"Makanya, Indering sebagai lembaga pengawasan dan pengkajian energi mendesak semua transaksi yang dilakukan semua pihak perusahaan BUMN, swasta, asing dan penanam modal yang mengelola sumber daya alam (SDA) Indonesia seperti minyak, gas, mineral, batubara, ketenagalistrikan, energi baru dan terbarukan, harus menggunakan rupiah di wilayah NKRI," kata Zuli. [SUMBER]