Dalam ketentuan perundangan yang berlaku terkait otonomi daerah, UU No. 32 Tahun 2004, pengelolaan (kegiatan hulu) migas bukanlah me rupakan kewenangan pemerintah dae rah. Pengelolaan migas, karena di pandang merupakan sumber ke ka yaan negara yang strategis– masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Namun, daerah, yang dalam hal ini di wa kili oleh pemerintah daerah, sesuai per undangan menyangkut perimbangan keuangan pusat dan daerah, UU No 33 Tahun 2004, akan mendapatkan dana bagi hasil (DBH) migas. Besarnya adalah 15 persen untuk bagi hasil dari pengusahaan minyak dan 30 persen untuk bagi hasil dari pengusahaan gas. Daerah, berdasar Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas, juga dapat memperoleh hak partisipasi (participating interest) se besar 10 persen dari penawaran yang harus dilakukan kontraktor migas yang ber operasi setelah rencana pengembangan yang pertama akan diproduksikan men dapatkan persetujuan.
Melalui hak partisipasi itulah peran dan keikutsertaan daerah dalam mengelola migas yang ada di wilayahnya diharapkan dapat terakomodasi. Keikutsertaan empat BUMD sebagai wakil dari daerah yang memegang 10 per sen hak partisipasi dalam pengelolaan migas di Blok Cepu yang berada di wi layah Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) dan Kabupaten Blora (Jawa Tengah) adalah contoh dari penerapan aturan tentang hak partisipasi itu.
Menarik untuk sedikit mencermati dan mempertanyakan benarkah dengan pola kepemilikan hak par ti sipasi 10 persen tersebut kepentingan daerah dalam pengelolaan migas telah terwakili? Benarkah daerah, dan terlebih masyarakat daerah tersebut, benar-benar menerima manfaat dari pola semacam itu? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut secara langsung.
Namun, jika memperhatikan beberapa aspek, kiranya kita dapat sedikit melihat arah jawabannya. Kegiatan hulu migas adalah kegiatan yang melibatkan investasi dengan karakteristik padat modal, padat teknologi, dan memiliki risiko kegagalan cukup tinggi. Dalam hal padat modal, jika diterapkan secara konsis ten, kepemilikan hak par ti sipasi 10 persen berarti membawa konsekuensi bahwa daerah juga turut menanggung biaya/investasi yang akan
dikeluarkan.
Termasuk investasi eksplorasi yang belum tentu akan menghasilkan. ’’Keharusan’’ untuk turut menyer takan modal (cash call) ini di dalam praktik harus diakui (cukup) berat bagi daerah sehingga mengakibatkan daerah ’’terpaksa’’ menggandeng pihak swasta/investor lain untuk menjadi penyandang dana di belakang BUMD yang memegang hak partisipasi tersebut.
Dalam hal padat teknologi, sering daerah juga dihadapkan pada keterbatasan penguasaan teknologi migas dan juga sumber daya manusia yang ada. Hal itu secara langsung maupun tidak langsung juga mengondisikan daerah untuk kemudian terpaksa menggunakan jasa pihak lain. Dua hal tersebut pada gilirannya menimbulkan tanda tanya; jika modal dan teknologi bergantung kepada pihak lain (investor/swasta), tidakkah itu pada gilirannya hanya akan menguntungkan pihak swasta/investor tersebut?
Sedang kan daerah, terlebih masyarakat daerah, re latif tidak akan mendapatkan sesuatu yang berarti? Tidakkah pola itu justru hanya akan makin menguntungkan segelintir elite yang memiliki modal dan dekat dengan kekuasaan karena me reka ibaratnya bisa mendapatkan hak partisipasi secara lebih mudah dan murah melalui pintu daerah dan tid ak melalui pintu bisnis
yang sewajarnya?
Maka, tak ada salahnya bagi pe merintah untuk kembali meninjau dan memperbaiki peraturan yang ada. Barangkali di dalam peraturan yang ada perlu ditambahkan dan diperjelas bahwa yang dimaksudkan dengan ’’daerah’’ adalah benar-benar pemerintah daerah tanpa ada embel-embel pihak swasta lain di belakangnya. Jangan sampai tujuan yang sebenarnya mulia karena celah-celah aturan yang ada kemudian hanya dibelokkan dan dimanfaatkan segelintir pihak yang selalu berusaha memburu rente. (SUMBER)
*) Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute