MEMPERTANYAKAN PERAN DAERAH DALAM TATAKELOLA MIGAS

[News] FKDPM || Salah satu tujuan politik pengelolaan migas adalah terciptanya kemakmuran bagi segenap masyarakat secara adil dan merata. Tujuan tersebut mensyaratkan system pembagian peran dan kewenangan serta hasil pembagian sumber daya migas antar tingkat pemerintah, yakni pusat-pemerintah daerah.

Termasuk kewenangan pengelolaan migas. Yakni berada di pemerintah pusat, meski hasil migas akan didistribusikan ke daerah melalui mekanisme dana bagi hasil. Ketidakpuasan bagi hasil dan keterlibatan yang dianggap minimal membuat daerah menuntut lebih. Dalam konteks bungan pusat dan daerah, bagaimana posisi dan peran pemerintah daerah agar manfaat sumber daya alam termasuk migas di wilayah bisa optimal bagi kesejahteraan rakyat?

Menyangkut pembagian kewenangan, menurut Syarif Hidayat, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) bahwa pengelolaan migas dalam UU No. 32 Tahun 2004 kewenangan berada pada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sedangkan pengelolaan tambang (secara umum) yang diserahkan ke pemda adalah dalam bentuk pertambangan galian C, diantaranya pasir dan batu.

Meski demikian, menurut Syarif, pemda sebagai penyelenggara Negara di tingkat daerah tetap dilibatkan dalam pengelolaan pertambangan. “Kalau kewenangan dibatasi tetap di tangan pemerintah pusat, pemda berperan membantu pemerintah pusat dalam mengawasi dan mengelola. “jelasnya.

Menyangkut Dana Bagi Hasil, secara formal merupakan bagian kompensasi yang diberikan kepada daerah karena tambang-tambang dan kegiatan eksplotasi berada di daerah. DBH, yang secara ekonomi harus dimaknai sebagai keuntungan langsung bagi daerah dari perusahaan/swasta yang mengelola SDA. Disamping itu, akan didapatkan multiplier effect bagi perekonomian daerah/masyarakat. Misal, munculnya usaha-usaha baru, penyerapan tenaga kerja, tersedianya infrastruktur dan sebagainya.

Peran Daerah dan DBH
Berkenaan dengan DBH, Syarif Hidayat kembali menjelaskan, setidaknya terdapat dua pola perhitungan, yakni profit sharing (bagi keuntungan dari total produksi). Pembagian berjenjang berdsarkan prosentase tertentu, baik perusahaan (kontraktor) dengan pemerintah pusat, maupun pemerintah pusat dengan daerah (provinsi-kabupaten/kota).

Soal tuntutan daerah agar porsi pembagian lebih besar. Syarif menjelaskan, bahwa potensi SDA migas tak dimiliki setiap daerah. Pembagian lebih besar ke pemerintah pusat bisa dimengerti, karena tugasnya mengatur distribusi hasil penirimaan Negara. Termasuk hasil migas. Terutama ke daerah-daerah yang tak memiliki, potensi SDA, agar tak terjadi ketimpangan tinggi antar daerah.

Namun demikian, pengelolaan dana hasil migas harus dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi sehingga daerah penghasil SDA tak curiga terhadap pemerintah pusat. Baik mekansime pencairan dana , besar maupun pengalokasian.

“Yang menerima bagi hasil dari perusahaan melalui kemenkeu. Jadi, transparansi harus dimulai dari kementerian ini. Termasuk berapa banyak DBH darimana jumlah DBH, serta berapa banyak yang akan dialokasikan ke daerah dan sebagainya,” lanjut Syarif.

Yang juga penting menurutnya, pengawasan penyaluran dana untuk menjaminkan transparansi dan akuntabilitas. Bahkan Syarif juga mengusulkan perlu dibentuk lembaga independen untuk mengawasi DBH. Lembaga-lembaga yang selama ini ada, misal Dewan Pertimbangan Otonomi /Daerah (DPOD) belum berfungsi maksimal, temasuk hal mengawasi bebagai regulasi di daerah yang kontraproduktif dengan upaya amendorong iklim investasi.

Pengamat Otonomi Daerah terkait sektor migas, Cornelia S.R.E Oentarti juga mengeluhkan beberapa hambatan investai migas di daerah. Misal, adanya peraturan dearah (perda) yang malah menghambat investasi migas di daerah. Persoalan sulitnya pembebasan lahan, pungutan yang mengakibatkan biaya lebih besar dan beberapa lainnya. Padahal, tidak tercapainya target produksi nasional sebagai akibat terhambatnya kegiatan operasi di lapangan akan berdampak signifikan terhadap penerimaan nasional APBN). “Kalu APBN terpengaruh, tentu akan berdampak pada struktur keuangan daerah, jadi saling terkait,” tegasnya kembali.

Masih menurut Cornelia, bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan tanpa bermitra dengan investor atau pihak swasta. Untuk itu, disamping sinergi antar kementerian, sinergi antara pemerintah pusat daerah juga penting. Termasuk peraturan yang dikeluarkan. Yang tak kalah penting, lanjutnya, pemerintah daerah harus punya terobosan agar menarik investor berinvestasi di daerah. Misal, memberi kemudahan izin dan jaminan kenyamanan. “Kemudahan investasi di daerah, manfaatnya akan kembali ke masyarakat di daerah juga,” yakin Cornelia, menutuf diskusi dengan INDOCITA.

Berharap Pada CSR
Bentuk lain dari manfaat pengelolaan SDA migas di dearah adalah program CSR-Community Development. CSR adalah bagian bentuk “kompensasi” perusahaan atas dampak dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan. Sehingga program CSR bisa dialokasikan untuk rehabilitasi lingkungan dan sosial, terutama di wilayah industri tersebut melakukan usaha bisnis.

Melalui alokasi program CSR, Syarif berharap bisa menggerakan sektor usah kecil dan usah aekonomi produkstif masyarkat berbasis pada potensi tersedia. Menyangkut pelaksanaan, dijelaskan, terdapat beberapa pola. Ada pola dimana pengusaha menyerahkan dana CSR kepada pemda, lalu terserah pemda mendistribusikan kemana. “Beberapa kasus yang membuat CSR gagal, karena begitu masuk ke pemda, biasanya uang ini diberlakukan seakan-akan sebagai uang pemda dan diperlakukan sebagai proyek,” jelasanya.

Pola lainnya, program CSR dijalankan sendiri oleh perusahaan dengan melibatkan pemda dan masyarakat. Namun, Syarif mengingatkan, “masyarakat” yang dimaksud ini bukan masyarakat elit. Namun, masyarakat yang terkena dampak dan rentan sosial-ekonomi. Untuk itu, seharusnya para pihak terkait harus turut dalam pengawasan program CSR, tak terkecuai perusahaan. “Perusahaan bisa menaikan maupun mengurangi alokasi dana CSR jika program tidak capai sasaran,” tegas Syarif.

Alternatif CSR adalah melalui kelembagaan Community Based Development Organization (CBDO) . Menurutnya, CSR bukan hanya menyangkut masalah dana tetapi aspek kelembagaan. CBDO adalah lembaga independent yang didalamnya terdiri berbagai pihak termasuk perwakilan masyarakat. Keterlibatan elemen pemda adalah fasilitator dan membantu melancarkan hubungan masyarakat dengan swasta serta pihak lain.

Secara filosofis, CBDO bagian dari upaya penyiapan kelembagaan di masyarkat agar mandiri mengelola berbagai program pembangunan masyarakat, termasuk CSR. ini penting, mengingat kegiatan perusahaan mengekstraksi SDA migas akan berlangsung sementara, sehingga ini merupakan penyiapan sosial-ekonomi serta kelembagaan masyarakat pasca tambang.

CBDO juga bisa melakukan pengembangan –pengembangan usahanya serta menjalin kerjasama dengan pihak lain. Misal, dengan penyedia modal atau pasar. Termasuk dengan lembaga akademik, terkait survey atau penilaian potensi usaha. Dalam meningkatkan kualitas kelembagaan CBDO, pengelolaan harus dilakukan profesional. Peningkatan kualitas pengelola lembaga, baik pengetahuan dan keterampilan menjadi kunci utama keberhasilan CBDO.

Sejalan penjelasan Syarif Hidayat, sebenarnya pada beberapa daerah telah berusaha menemukan formulasi pelaksanaan program CSR-comdev, baik dari sisi program maupun kelembagaan. Salah satunya di Kabupaten Sumenep.

Di Kabupaten Sumenep, setidaknya terdapat beberapa perusahaan migas beroperasi di wilayah ini. Sebut saja diantaranya ARCO, BP Kangean, Santos dan lainnya. Untuk mengefektifkan program SCR melalui comdev ke masyarakat, dibentuk komite pengembangan Masyarakat. Terdiri dari unsur pemerintah daerah, perusahaan setempat dan perwakilan masyarakat. Komite pengembangan Masyarakat Kabupaten Sumenep dikuatkan melalui keputusan Bupate Sumenep Nomor 185/31/KEP/435.013/2007. Di beberapa kecamatan juga dibuat komite yang sama.

Dalam perjalannya, komite ini cukup efektif meredam berbagai tuntutan masyarkaat ke perusahaan, sehingga konflik terhindari.. Lembaga ini juga mengkoordinasikan bebagai program pembangunan baik dari pemerintah maupun CSR-comdev untuk mengatasi tumpang tidih program. Kekuatan lembaga ini ada pada masyarakat sebagai aktor utama kelembagaan pengelola program CSR-comdev. Sayangnya, Ketua Komiete Pengembangan Masyarakat Kabupaten Sumenep Moch Dahlan ketika dihubungi INDOCITA melalui sambungan teleopon enggan dimintai keterangan lebih lanjut.

Terlepas dari apapun kelmbagaan untuk mengelola program CSR-comdev, yang terpenting harus menempatkan masyarakat sebagai pengelola utama. Pembinaan dan pendampingan harus dilakukan agar kelembagaa ini bisa “berdaya”, baik sisi sosial maupun kelembagaan. Sehingga , jika kelembagaan ini “berdaya”, berapapun dana yang ada bisa terkelola dan efektif dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. [SUMBER]