INDUSTRI MIGAS DAN TAMBANG TERDAFTAR BURSA AS WAJIB TRANSPARAN



[News] 21 September 2015 UP45 Migas Review, Jakarta - Perusahaan-perusahaan migas dan tambang yang terdaftar di Bursa AS diwajibkan oleh pengadilan Amerika untuk membuka penerimaan perusahaan kepada publik. Ketententuan tersebut berdasarkan pada aturan final pasal 1504 Undang-Undang Reformasi Pasar Modal dan Perlindungan Konsumen-Dodd Frank Act. Transparansi tersebut tidak terbatas di negara Amerika melainkan negara-negara di luar AS dimana perusahaan tersebut beroperasi, termasuk Indonesia.

Putusan Pengadilan Federal Amerika Serikat atas gugatan yang diajukan oleh Oxfam Amerika kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (Security and Exchange Commission/SEC) memandatkan SEC untuk mengeluarkan aturan final pasal 1504 Undang-Undang Reformasi Pasar Modal dan Perlindungan Konsumen-Dodd Frank Act, dalam 30 hari setelah putusan diumumkan pada tanggal 2 September 2015. Sependapat dengan Oxfam, hakim menilai SEC telah mengulur waktu pemberlakuan pasal yang mewajibkan perusahaan migas dan tambang untuk membuka data pembayaran tanpa ada payung hukum yang jelas.
Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, bagi Indonesia, pelaksanaan peraturan ini di Amerika Serikat sangat bermanfaat untuk publik dan masyarakat di Indonesia dalam mendorong transparansi, karena perusahaan-perusahaan migas dan tambang yang terdaftar di Bursa AS yang notabene juga beroperasi di Indonesia. Data pembayaran yang harus dibuka tidak terbatas pada yang diperuntukkan bagi Amerika Serikat, namun juga negara-negara di luar AS dimana Perusahaan tersebut beroperasi, termasuk Indonesia.
“Perusahaan-perusahaan tersebut diwajibkan membuat laporan  data pembayaran perusahaan yang mencakup pajak, royalti, bonus, dividen dan biaya-biaya lain dengan nilai minimum US$ 100 ribu yang dilakukan untuk kepentingan komersil, seperti proses perizinan, eksplorasi, produksi, juga ekspor per-tahunnya,” ucapnya melalui siaran pers (20/09).
Dari 79 blok migas yang ada di Indonesia, sebagian dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar yang namanya terdaftar di bursa Amerika Serikat. Sebut saja Petrochina yang mengeloka Blok Bangko, Jabung, Selat Panjang, Tuban, Kepala Burung dan Salawati; Exxonmobil di North Sumatera Block B; TOTAL di Blok Mahakam, Sebuku, dan Tengah; Chevron di Blok Rokan, Siak, W. Pasir, Ganal, Selat Makassar dan Rapak; Conoco Phillips di Blok Grissik, South Jambi B, dan South Natuna B. Di samping itu, masih ada BP dan CNOOC. Sedangkan untuk pertambangan sendiri ada Freeport, Newmont, dan Vale. Data pembayaran perusahaan ini yang diberikan ke pemerintah Indonesia juga mencakup detil komponen tiap pembayaran ke tiap dinas atau badan pemerintahan harus dimasukkan dalam pelaporan parent company masing-masing ke Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat.
Maryati menambahkan pelaporan kepada publik dapat dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Apakah nilainya sama atau justru berbeda. Jika ada temuan-temuan yang berbeda, berarti menandakan ada celah dalam tata kelola penerimaan sektor esktraktif di Indonesia, baik yang mengarah pada tindak korupsi maupun penyelewengan lainnya. “Ini perlu ditindaklajuti untuk optimalisasi kinerja penerimaan ke depannya” imbuhnya.
Pemberlakuan pasal 1504 Undang-undang Dodd-Frank sendiri mengalami penundaan selama kurang lebih empat tahun. Setelah diajukan pada Desember 2010, Kongres telah menetapkan tenggat waktu pemberlakuan regulasi ini 270 hari pasca pengajuan, yakni pada tanggal 17 April 2011. Sayangnya, di saat Komisi mengadopsi pasal 1504 ini di tahun 2012, Asosiasi Perusahaan Minyak Amerika Serikat yang diantaranya beranggotakan ExxonMobil, Shell, Chevron, BP justru mengajukan gugatan ke Pengadilan Distrik Columbia dengan dalih adanya kesalahan prosedural dalam pasal 1504. Hal itulah yang membuat Oxfam kemudian pada tahun 2014 lalu menggugat SEC untuk segera menyelesaikan ketentuan pasal 1504 di Pengadilan Distrik Massachusetts. [SUMBER]