Vice President Corporate Communication
Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan Pertamina selama ini harus
melakukan pembelian valas berdenominasi US$ dalam jumlah cukup besar,
yang digunakan untuk pengadaan minyak mentah dan produk minyak dan LPG
serta pembiayaan proyek-proyek investasi. Di sisi lain, sebagian besar
pendapatan Pertamina dari penjualan di dalam negeri diterima dalam mata
uang rupiah.
Pertamina, tuturnya, melakukan pembelian
valas dari tiga bank BUMN, yaitu Bank Mandiri, BRI, dan BNI yang selalu
dilaporkan kepada Bank Indonesia secara bulanan maupun mingguan. Sejak
bulan Juni lalu, Pertamina telah mengimplementasikan transaksi lindung
nilai (hedging) dengan membeli valas secara forward dan telah
mendapatkan fasilitas perbankan berupa forex line untuk transaksi
lindung nilai dari tiga bank dalam jumlah signifikan.
“Akhir-akhir ini, fluktuasi nilai tukar
Rupiah terhadap US$ sangat dinamis dimana Rupiah terus mengalami
depresiasi sehingga under value (di bawah nilai fundamentalnya). Sebagai
bentuk mitigasi risiko, Pertamina yang sebelumnya telah melakukan aksi
korporasi dengan hedging, dalam beberapa waktu ke depan, juga bersiap
mengurangi transaksi pembelian US$ hingga 50% dari transaksi pembelian
normal,” ungkap Wianda.
Kendati mengurangi pembelian valas, kata
Wianda, Pertamina tetap dapat memenuhi kewajiban pembayaran baik dalam
bentuk rupiah dan valas kepada mitra usaha. Untuk mengatasi selisih
antara kebutuhan dan pembelian valas dalam US$, Pertamina akan
bekerjasama dengan pihak perbankan dengan menggunakan skema trade
financing dengan memanfaatkan fasilitas kredit jangka pendek yang
disediakan oleh perbankan baik BUMN, swasta nasional maupun perbankan
Internasional untuk mendukung pembiayaan Pertamina.
"Jadi, ke depan Pertamina akan lebih
memanfaatkan komitmen credit line yang sudah dimiliki dibandingkan
dengan mencari US$ di pasar spot," tutup Wianda. [SUMBER]