RENEGOSIASI KONTRAK FREEPORT PERLU SELARASKAN PERATURAN TAHUN 1991

[News] 15 Desember 2015 UP45 Migas Review, Jakarta. Persoalan renegoisasi PT Freeport Indonesia (PTFI) pada dasarnya terkait dengan perpanjangan Kontrak Kerjasama (KK) Freefort Indonesia yang dilakukan di tahun 1991.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan, pada kontrak yang dibuat antara Pemerintah yang berkuasa saat itu dengan Freeport, banyak sekali "restriksi" yang membatasi gerak pemerintah, diantaranya pertama, kontrak yang berlaku tersebut mengacu dan berdasarkan Undang-undang (UU) serta peraturan yang dibuat 1991. "Jadi, paling tidak berdasarkan interpretasi pihak Freeport Indonesia, UU dan peraturan setelah itu (1991 dan seterusnya) tidak mengikat pihak mereka," ujar Sofyano di Jakarta, Senin (14/12).
Kedua, di dalam kontrak tersebut (tahun 1991) juga disebutkan PTFI bisa meminta perpanjangan kontrak kerjasaman, kapan saja untuk jangka waktu selama 2x10 tahun. "Perpanjangan kontrak harus disetujui pemerintah dan pemerintah tidak bisa menahan permintaan tersebut, bahkan terhadap persyaratan yang bisa dinilai ‘tidak wajar’ sekalipun," ungkap Sofyano.
Ketiga, kontrak PTFI ditahun 1991 tersebut, juga menyatakan bahwa keberadaan tambang tersebut tidak bisa dinasionalisasi. Menurut Sofyano, hal tersebut merupakan dilema bagi pemerintah yang berkuasa kemudian yang menghadapi permintaan perpanjangan PTFI, seperti yang terjadi saat ini.
Dengan demikian maka hal yang kemudian bisa dilakukan dan atau diupayakan oleh Pemerintah oleh Pemerintah saat ini hanyalah adalah merenegosiasi perubahan atau amandemen kontrak, agar selaras dengan aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Sofyano menilai pemerintah harus melakukan perundingan atau negosiasi. Dan mungkin inilah upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah pada pertengahan tahun 2014 dengan membuat MOU yang intinya adalah merenegosiasi kontrak tersebut yang disepakati pada tahun 1991. "Tentunya, Ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Tentu ada pihak yang pro dan kontra terkait kesepakatan yang telah dituangkan dalam MOU tersebut," kata Sofyano.
Dalam bernegosiasi dan dalam posisi seperti itu, lanjut Sofyano, tentu saja Pemerintah harus cerdas dan kerja keras untuk mampu meyakinkan pihak PTFI agar PTFI bersedia mengikuti beberapa persyaratan yang diajukan Pemerintah.
Dalam renegosiasi ini,sambung dia, PTFI mungkin saja bersedia mengikuti beberapa permintaan tersebut tetapi tidak mungkin PTFI tidak mengajukan persyaratan yang menguntungkan bagi pihak mereka (PTFI) misalnya meminta pemerintah menjamin dan berkewajiban memperpanjang kontrak sebagai jaminan atas kelanjutan bisnis mereka di NKRI sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kontrak Kerjasama di Tahun 1991.
Terkait perpanjangan kontrak kerjasama, lanjut Sofyano, PTFI juga tentu saja telah mempelajari dengan seksama kontrak yang dibuat pemerintah pada tahun 1991 dimana terdapat pasal yang memberi hak kepada PTFI untuk bisa membawa pelanggaran terhadap kontrak yang tidak menguntungkan bagi mereka untuk bisa di gugat ke Badan arbitrase internasional.
Dengan demikian, situasi ini tentunya akan membuat siapapun yang menjadi Menteri ESDM saat ini akan menghadapi dilema ini.
Bagi pihak yang belum mengetahui secara detail persyaratan yang diatur dalam kontrak pada tahun 1991 tersebut, kata Sofyano, maka bisa saja berpendapat  dengan mudah bilang, "jangan diperpanjang".
Namun jika ini dituruti oleh Pemerintah dan ternyata kemudian Pemerintah digugat oleh PTFI melalui sidang arbitrase Internasional dan ternyata kalah serta diharus membayar tuntutan ganti rugi yang diajukan PTFI, maka Pemerintah akhirnya bisa pula dinyatakan telah melakukan perbuatan yang merugikan negara oleh pihak-pihak tertentu.
Disisi lain, menurut Sofyano, Pemerintah akan pula menghadapi persoalan yang sangat pelik dan rumit apabila terjadi tidak diperpanjang kontrak PTFI itu, yaitu bagaimana dengan pendapatan negara dan pemda yang akan hilang selama terjadi penghentian operasi, bagaimana dengan begitu banyak pegawai PTFI yang kebanyakan orang Papua yang berada disekitar lokasi  yang akan hilang pendapatannya dan multiplier effect yang lain.
Artinya, dalam menghadapi PTFI pemerintah harus cerdas dan ramah ketika melakukan negosiasi dengan pihak PTFI, dan tentunya Pemerintah harus mampu meyakinkan pihak PTFI bahwa dibelakang Pemerintah terdapat ratusan juta rakyat Indonesia yang harus diperjuangkan kepentingannya bahwa perpanjangan kontrak PTFI harus memberikan manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan bangsa ini.
"Inilah pertaruhan yang tidak mudah yang harus nampu diwujudkan oleh Pemerintah yang berkuasa saat ini," tutur Sofyano.
Jika bangsa ini sudah sepakat bahwa Freeport harus hengkang dari bumi Indonesia, maka harusnya DPR RI melalui sidang paripurna yang dibuat khusus untuk itu, menetapkan keputusan itu dengan mengamanahkan kepada Pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak dengan PTFI.
Segala macam resiko yang timbul akibat hal tersebut harus ditanggung bersama antara Pemerintah dan DPR RI. "Jadi publik akan memaknai bahwa tidak akan ada dusta antara mereka dan tidak ada bujukan ular untuk menjatuhkan dan menghancurkan salah satu pihak," pungkasnya. [SUMBER]