[NEWS] 29 Februari 2016 UP45 Rencana merger
Pertagas dan PGN yang sebelumnya digulirkan oleh mantan Menteri BUMN,
Dahlan Iskan, saat ini mengemuka kembali. Berdasarkan pencermatan
wacana/rencana merger tersebut awalnya didorong oleh polemik terbuka antara Pertagas dan PGN terkait implementasi kebijakan open access. Saat itu Kementerian BUMN menilai bahwa merger dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan permasalahan antara keduabelah pihak.
Berdasarkan
informasi yang dihimpun, saat ini Kementerian BUMN sedang melakukan
kajian untuk mengoptimalkan kinerja Pertagas dan PGN. Kajian tersebut
diklaim sebagai bagian dari konsolidasi BUMN energi. Salah satu
kesimpulan awal adalah bahwa perlu dilakukannya integrasi antara kedua
badan usaha. Menurut Kementerian BUMN semua pihak telah sepakat bahwa
bisnis yang saat ini dijalankan oleh Pertagas dan PGN harus dilakukan
secara terpadu dan terintegrasi baik dalam perencanaan, pengolahan,
sampai dengan pengembangan. Karena itu, saat ini pemerintah sedang
melakukan studi untuk memutuskan penyelesaian permasalahan antara kedua
perusahaan apakah dengan opsi merger, akuisisi, atau Kerja Sama Operasi
(KSO).
Berdasarkan perkembangan yang ada tersebut, pandangan ReforMiner terhadap rencana integrasi Pertagas-PGN, khususnya jika menggunakan skema merger adalah sebagai berikut,
- ReforMiner menilai pemerintah perlu meninjau ulang dan menghitung kembali biaya dan manfaat rencana merger Pertagas-PGN. Integrasi kedua perusahaan dalam bentuk Kerja Sama Operasi (KSO) kemungkinan justru dapat menjadi solusi yang optimal dari permasalahan yang ada. Pelaksanaan kebijakan open access sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22/2001, PP No. 36/2004, dan Permen ESDM No. 19/2009 yang disertai dengan adanya hak dan kewajiban bagi Pertagas dan PGN, serta upaya melindungi keduabelah pihak dari kerugian, kemungkinan juga telah dapat menjadi solusi permasalahan yang ada tanpa harus melakukan merger dan akuisisi.
- Skema merger belum tentu dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dan baik bagi perkembangan bisnis Pertagas maupun PGN. Pada umunya skema merger dipilih ketika perkembangan dari internal perusahaan tidak dapat terealisasi, atau tepatnya tidak terdapat lagi pilihan untuk melakukan pertumbuhan secara organik. Sementara dalam hal ini ReforMiner menilai baik Pertagas maupun PGN masih memiliki ruang yang cukup besar untuk dapat tumbuh secara organik.
- Proses penyatuan sumberdaya, khususnya sumber daya manusia, dari kedua perusahaan Kemungkinan tidak akan sederhana dan berpotensi menjadi permasalahan tersendiri. Perbedaan karakteristik dan budaya kerja seringkali menyebabkan proses merger dan akuisisi berjalan sangat lambat, bahkan gagal. Terdapat kecenderungan masing-masing karyawan akan membawa dan “memaksakan” budaya kerja dari perusahaan mereka untuk diterapkan di perusahaan yang baru. Sementara bagi keduabelah pihak merubah suatu budaya atau kebiasaan dalam bekerja tidak dapat dilakukan secara instan.
- Penentuan pihak pengakuisi dalam rencana merger Pertagas-PGN kemungkinan akan menjadi tahapan yang paling sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama. Dalam proses merger masing-masing pihak akan memiliki kecenderungan ingin menjadi pengakuisisi. Hal tersebut wajar mengingat secara psikologis posisi pengakuisisi akan dapat mengendalikan perusahaan target dan memaksakan budaya kerja mereka diadopsi atau diterapkan oleh karyawan pada perusahaan hasil merger.
- Terkait posisi Pertagas dan PGN sebagai BUMN, variabel yang menjadi dasar penentuan pihak pengakuisisi menjadi semakin kompleks. Apalagi sejauh ini masing-masing pihak mengklaim bahwa mereka yang paling berhak menjadi pengakuisisi. Jika ditinjau dari aspek dan variabel yang disampaikan oleh masing-masing pihak seperti kepemilikan saham, kemampuan keuangan dan besaran aset, penguasaan jaringan infrastruktur, dan penguasaan lini bisnis, masing-masing pihak memang memiliki dasar untuk mengklaim bahwa mereka yang layak untuk menjadi pihak pengakuisisi.
- Dari aspek kepemilikan saham, Pertagas menjadi pihak yang perlu dipertimbangkan untuk ditunjuk sebagai pengakuisisi. Hal itu karena seluruh (100%) saham Pertagas dimiliki oleh pemerintah. Sedangkan sekitar 43% dari saham PGN telah dimiliki oleh publik. Berdasarkan komposisi kepemilikan saham tersebut, jika PGN ditetapkan sebagai pengakuisisi maka sebagian saham dan keuntungan Pertagas nantinya harus didistribuikan kepada 43% pemegang saham PGN sebelumnya. Hal lain yang kemungkinan terjadi adalah kontrol pemerintah tidak akan sekuat jika PGN melebur ke Pertagas. Jika Pertagas melebur kepada PGN, setiap kebijakan yang akan dilakukan pemerintah terhadap perusahaan hasil merger, terlebihdahulu harus dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan 43% pemegang saham (investor).
- Dari aspek jaminan keberlanjutan pasokan gas dan asosiasi dengan perusahaan induk, posisi Pertagas lebih unggul dibandingkan PGN untuk menjadi nominasi pengakuisisi. Secara tidak langsung Pertagas telah memiliki jaminan pasokan gas dari induk perusahaan (Pertamina (Persero) yang dilakukan baik melalui anak perusahaan yang lain seperti Pertamina EP, Pertamina Hulu Energi, hasil dari JOB, maupun melalui mekanisme yang lainnya. Posisi Pertamina (Persero) yang memiliki infrastruktur yang lebih komplet, seperti infrastruktur hulu migas, kilang LNG, FSRU, hingga jaringan pipa transmisi dan distribusi gas, memperkuat posisi Pertagas. Dukungan kemampuan investasi dari Pertamina (Persero) juga semakin memperkuat posisi Pertagas. Dalam dua tahun terakhir Pertagas tercatat membangun infrastruktur pipa transmisi tambahan sepanjang 851 km yang diproyeksikan akan selesai pada tahun 2016 ini.
- Dari aspek keuangan, PGN menjadi pihak yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi pengakuisisi. Aset dan keuntungan yang dibukukan oleh PGN tercatat lebih besar dibandingkan Pertagas. Pada tahun 2014 aset PGN tercatat sebesar US$6,21 milyar. Sedangkan pada periode yang sama aset Pertagas sebesar US$1,72 milyar atau sekitar 27,69% dari aset PGN. Keuntungan yang dibukukan PGN pada tahun tersebut adalah sebesar US$748,28 juta. Sementara keuntungan yang dibukukan oleh Pertagas sebesar US$178,60 juta atau sekitar 23,86% dari keuntungan PGN.
- Dari aspek penguasaan infrastruktur, posisi Pertagas dan PGN relatif seimbang. Pertagas kuat dalam penguasaan infrastruktur transmisi gas, sementara PGN kuat dalam penguasaan infrastruktur distribusi gas. Pada tahun 2014 Pertagas tercatat mengoperasikan pipa transmisi gas sepanjang 32.648 km, terdiri atas 43 ruas pipa yang tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Sementara pada periode yang sama, panjang pipa transmisi yang dioperasikan PGN adalah 2.047 km atau sekitar 6,27% dari pipa transmisi yang dioperasikan oleh Pertagas. Pipa transmisi gas yang dioperasikan PGN terdiri atas 4 ruas yang meliputi Wampu-Belawan, Grissik Duri, Grissik Batam, dan SSWJ. Dalam hal pipa distribusi, pada tahun 2014 PGN tercatat mengoperasikan 4.310 km pipa distribusi. Sementara panjang pipa distribusi gas yang dioperasikan Pertagas, masih dibawah PGN.
- Dari aspek peningkatan daya saing dan kepentingan perekonomian nasional, Pertagas menjadi pihak yang perlu dipertimbangkan untuk ditunjuk sebagai pengakuisisi. Dari penelusuran, margin yang diambil oleh Pertagas lebih kecil dibandingkan margin yang diambil oleh PGN. Sehingga harga gas Pertagas yang sampai ke pembeli akhir/konsumen relatif lebih murah dan sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan daya saing produksi barang dan jasa Indonesia. Jika Pertagas menjadi pengakusisi, harga gas kemungkinan akan lebih mudah dikonsulidasikan (diturunkan). Meskipun hal tersebut kemungkinan tidak akan berjalan mudah, karena belum tentu 43% pemegang saham (investor) PGN saat ini menyetujui kebijakan tersebut.
- Meski tidak mudah dan perlu dilakukan perhitungan biaya manfaat terlebih dahulu, jika dapat dilaksanakan dan prosesnya berjalan dengan baik, rencana merger Pertagas-PGN berpotensi mendorong industri gas nasional secara keseluruhan menjadi lebih efisien. Dengan adanya integrasi infrastruktur transmisi dan distribusi gas akan memberikan dampak positif bagi industri gas di hulu dan konsumen gas. Integrasi infrastruktur jaringan gas juga dapat meminimalkan peran/eksistensi trader gas, terutama trader-trader yang tidak memiliki infrastruktur.
Komaidi Notonegoro
Director Reforminer Institute [SUMBER]