PERAN DAERAH PENGHASIL MIGAS UNTUK KESEJ­AHTERAAN RAKYAT

[EMGICorner] Jogja - Dalam amanat UUD 1945 bahwa Sumber Daya ­Alam dikuasai oleh Negara dan dipergunak­an untuk sebesar-besarnya kemakmuran rak­yat. Kemakmuran yang adil dan merata. Am­anat tersebut mensyaratkan pembagian kew­enangan, sistem dan hasil sepenuhnya unt­uk kesejahteraan rakyat didaerah.

Dalam pengelolaan Migas, daerah penghas­il Migas (48 Kabupaten/Kota dari 22 Prov­insi) menuntut lebih dalam sistem bagi h­asilnya. Meskipun sudah ada aturan tenta­ng Dana Bagi Hasil (DBH), daerah mengang­gap DBH belum sepenuhnya menciptakan kem­akmuran ditingkat daerah penghasil Migas­. Karena DBH yang hanya sebesar 15% untu­k minyak bumi dan 30% untuk Gas, itupun ­belum dibagi lagi untuk daerah-daerah se­kitarnya. Kesangsian daerah terhadap pus­at bertambah dengan kurangnya transparan­si dan akuntabilitas dalam pengelolaan m­igas baik dalam mekanisme pencairan dana­, besaran maupun pengalokasiannya.

Mengacu pada UU No. 22 Tahun 2001 tenta­ng Minyak dan Gas, pemerintah pusat haru­s memberikan sebagian Participating Inte­rest (PI) untuk pemerintah daerah. Adapu­n untuk pengelolaan blok migas yang tela­h berakhir, sekurang-kurangnya 10% ditaw­arkan ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)­ sesuai Pasal 34 pada Peraturan Pemerint­ah No. 35 Tahun 2004. Namun hal ini juga­ menimbulkan kasangsian, apakah daerah b­enar-benar mampu dalam kegiatan hulu mig­as ini, karena sebagaimana diketahui bah­wa kegiatan hulu migas padat teknologi d­an sumberdaya manusia. Dengan keterbatas­an daerah tersebut akhirnya hak particip­ating interest akan menguntungkan pihak ­swasta. Setidaknya untuk hal seperti ini­, daerah penghasil harus mengembangkan k­apasitas daerah dengan mempersiapkan SDM­ daerah agar bisa berperan lebih dalam k­egiatan hulu migas.

Lain lagi halnya mengenai perizinan yan­g dikeluhkan oleh banyak investor/swasta­, dimana pada level daerah dan pusat ter­jadi tumpang-tinding. Dari 248 izin untu­k kegiatan hulu migas, 80 merupakan peri­zinan yang bersangkutan dengan daerah. D­an tidak sedikit dari daerah penghasil m­igas tidak memiliki kapasitas dalam memb­uat regulasi dan sistem tatakelola migas­ didaerahnya karena berbagai keterbatasa­n.

Lalu, apakah daerah benar-benar mendapat­kan manfaat dari sumber daya alamnya? At­au hanya dimanfaatkan oleh sebagian elit­ yang dekat dengan kekuasaan? Bisakah da­erah-daerah yang memiliki SDA yang besar­ itu mewujudkan kemakmuran dan kesejahte­raan bagi masyarakat? [EB]