DISKUSI PERIODE II EMGI (PERAN DAERAH PENGHASIL MIGAS UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT)


NOTULENSI DISKUSI PUBLIK


Acara                   :  Peran Daerah Penghasil Migas Untuk Kesejahteraan Rakyat
Hari/ Tanggal     : Kamis, 13 Agustus 2015
Tempat                : Ruang Warek III
Pukul                   : 13.00- selesai
Agenda                :  Diskusi Publik Peran Daerah Penghasil Migas Untuk Kesejahteraan Rakyat

Acara dibuka oleh bapak Syamsudin, diskusi ini diharapkan menjadi wahana untuk berkolaborasi hal-hal secara akademis mengenai EMGI.
Sambutan oleh bapak Bambang Irjanto
Bapak Bambang menyampaikan EMGI adalah unit yang strategis, sebagai contoh bapak Bambang membatasi perekrutan mahasiswa teknik perminyakan dan meningkatkan kualitas. Dengan harapan calon mahasiswa baru secara merata akan mendaftar di fakultas lain. University of petrolium ada fakultas teknik dan non teknik, unggulannya tidak hanya teknik perminyakan tapi hukum, finance dan sospol. Bahwa sekarang belum unggul merupakan tantangan bagi UP45.

Paparan oleh:

Materi I : Bapak Happy Susanto
Pembahasan akan fokus di daerah Bojonegoro. Mayoritas penduduk adalah petani, dikuti industri dan perdagangan. Selain ada industri migas Bojonegoro punya potensi yang lain pula. Bojonegoro memiliki posisi migas tertinggi di jawa timur tapi disisi lain kurang berkembang dalam hal pembangunan termasuk pendapatan perkapita nya. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka diadakannya kebijakan perda konten lokal. Dengan adanya perda konten lokal ini maka kontraktor diwajibkan merekrut tenaga kerja dari masyarakat lokal. Perda ini dianggap pro rakyat, yang tentunya berdampak pada berimbangnya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat pengangguran.
Bagi Hasil Migas
Desentralisasi fiskal salah satu bentuknya adalah bagi hasil. Bagi hasil bisa berupa pajak dan non pajak. Implikasi positifnya adalah memperbaiki kepercayaan politik antara pusat dan daerah dimana hasil diperoleh, sedang implikasi negatif dari bagi hasil adalah tidak membantu memperbaiki tapi justru memperburuk horizontal fiscal imbalance
Tata kelola pemerintahan desa dilingkungan industri migas di Bojonegoro
Kesiapan pemerintahan desa dalam mengantisipasi keberadaan industri migas dimana ada 2 alat ukur yakni:
1.      Size of goverment, menggunakan 5 variabel
2.      Size of market, menggunakan 3 variabel

Sesi Diskusi

Dari ibu Jovita:
1.      kenapa masa kerjanya hanya 3-4 tahun? Setelah itu tindak lanjutnya apa? Bagaimana dengan lahan yang sudah terkonvensi?
Jawaban: apabila ada warga masyrakat yang tidak mau menjual tanahnya maka ditawarkan harga yang lebih tinggi, tapi ini strategi yang kurang sesuai, seharusnya dengan menyewa saja supaya lahannya bisa kembali ke masyarakat. Yang digunakan adalah tenaga kasar jadi memang mereka yang pada awalnya melakukan konstuksir, baik dari segi pembuatan jalan dan yang lainnya, sedang untuk selama 10 tahun yang dibutuhkan memang tenaga ahli yang mengetahui bagaimana cara mengebor dan bukan pekerja pasar. Sebagai tindak lanjutnya masyarakat bisa ber enterpreneurship, tapi pada saat ini masyarakat belum siap akan hal tersebut. Hal ini menjadi PR besar bagaimana tim bapak Happy menghubungkan aparatur desa dan masyarakat serta pihak MCL maunya seperti apa.

Dari bapak Indra:
2.      Temuan dari bapak Idham ada 1 keluarga yang menjadi psk, apakah mereka sudah sejak dulu berprofesi seperti itu sejak sebelum eksploirasi atau sesudahnya? Dan kemandirian pedesaan apakah tidak memunculkan kecemburuan sosial bagi desa yang lain?
Jawaban: Diharapkan masyarakat jangan terpaku pada industri migas melainkan menguasai ekonomi daerah. Supaya masyarakat tidak terpicu melakukan demo setelah selesai proyeknya. Memang diawal akan menimbulkan kecumburuan sosial, namun akan dimaklumi karena lahannya memang dilokasi tersebut.
Dari ibu Pita
3.      Dana CSR yang diberikan ke masyrakat bukan berupa beasiswa namun pembangunan sanitasi dan pelatihan bagi ibu- ibu, bagaimana seharusnya aturan/ konsep CSR?
Jawaban:  ada UU tentang CSR nomor 40 pasal 74 ayat 3. Dana infrastruktur untuk bangunan fisik ditangani oleh pemerintah, sedang untuk CSR adalah non fisik

Respon:

Dari bapak Bambang:
Triger dari pertanyaan ibu jovita dan bapak indra justru bisa dijadikan objek penelitian. Diharapkan masyarakat jangan terpaku pada industri migas melainkan menguasai ekonomi daerah. Supaya masyarakat tidak terpicu melakukan demo setelah selesai proyeknya.
Dari ibu Lusi:
Pengertian dari CSR/ tanggung jawab sosial wujudnya belum bisa diatur, dimana PT ini adalah perusahaan swasta sedang untuk BUMN memang sudah ada prosentasenya. Sebelum perusahaan migas melakukan eksploirasi harus melakukan perjanjian dengan pemda setempat. Dimana perjanjian ini masyarakat seharusnya tahu supaya tercipta kesejahteraan tapi pada kenyataannya masyrakat tidak mengetahuinya.
Dari bapak Indra:
Sisi optimis UP sudah bagus. Di Amerika CSR bekerjasama dengan universitas untuk mengelola CSR nya. Apabila UP45 khususnya teknik perminyakan mampu mendidik masyarakat dengan melakukan penyaringan yang ketat dan dipekerjakan di daerahnya masing- masing. Sedang jika minyak sudah habis maka mereka akan menjadi tenaga ahli yang bisa bekerja di tempat lain. Sehingga CSR ini diharapkan untuk mendidik supaya masyarakat menjadi tenaga profesional, berkualitas.
Dari bapak Syamsudin:
CSR pertamina cukup menarik dimana LPM Atmajaya menjadi leader nya, diharapkan UP bisa menjadi pengembangnya.

Rencana tindak lanjut

Diharapkan setelah adanya diskusi ini kita bisa melakukan penelitian apa penyebab industri migas belum bisa mensejahterakan masyarakat dan bagaimana solusinya

Kesimpulan:

        1)   Bojonegoro memiliki posisi migas tertinggi di jawa timur tapi disisi lain kurang berkembang dalam hal pembangunan termasuk pendapatan perkapita nya. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka diadakannya kebijakan perda konten lokal.
2)      Sangat diperlukan membentuk lembaga sosial resmi yang khusus menangani CSR