PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KETAHANAN NASIONAL

Oleh
DR. IR. GDE PRADNYANA
[Orasi Ilmiah ini disampaikan pada Wisuda semester Genap TA 2014/2015 Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Sabtu 17 Oktober 2015 di Santika Hotel]


Seiring dengan semakin langkanya ketersediaan sumber energy fosil (minyak bumi, gas alam, dan batubara) yang bersifat tak terbarukan maka perekonomian dunia mulai bergeser ke arah perekonomian energi. Peran energi sebagai komoditas yang diperdagangkan menjadi makin penting. Kecenderungan ini semakin diperkuat dengan belum tersedianya sumber energi terbarukan (surya, angin, geothermal, nuklir, dsb) dengan biaya produksi yang terjangkau.

Pemenuhan terhadap kebutuhan energi telah menjadi salah satu hal penting dalam mewujudkan ketahanan nasional. Persaingan global dalam memenuhi kebutuhan energi ini akan memberi insentif yang sangat tinggi terhadap setiap tenaga kerja yang bekerja di sektor ini. Kompetisi yang tinggi ini membutuhkan SDM yang juga berkualitas tinggi. Nilai-nilai Kebangsaan yang ada dalam jiwa Pancasila dapat menjadi pendorong bagi SDM kita untuk memenangkan kompetisi ini. Dengan demikian, di satu sisi pemenuhan ketahanan bidang energi ini membutuhkan SDM yang berkualitas tinggi. Disisi lain, terpenuhinya ketahanan energi ini akan mendorong kesejahteraan dan meningkatkan kualitas SDM lainnya.

I. PEMBAHASAN
Hasil survey yang dilakukan oleh Rob Jessen[1] terhadap strategic risk yang dihadapi oil company, menempatkan ketiadaan SDM yang memadai sebagai tantangan terbesar dibandingkan 10 resiko strategic lainnya, kemudian baru resiko: memburuknya system fiscal, pembengkakan biaya, perebutan sumber-sumber cadangan, kendala politik dalam kegiatan produksi, ketidakpastian dalam kebijakan energy, gangguan pada sisi demand, gangguan pada sisi supply, dan konservasi energi.

Joseph Stiglitz[2] juga menempatkan faktor keberhasilan pembangunan SDM sebagai indikator kunci yang menentukan berhasil-tidaknya sebuah Negara dalam memanfaatkan hasil sumber alam migas untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Hasil survey oleh Rob Jessen (dari sisi mikro ekonomi perusahaan minyak) serta kajian Joseph Stiglitz (dari sisi makro ekonomi sebuah Negara) menunjukkan bahwa faktor SDM yang menjadi kunci utama keberhasilan mengambil manfaat dan menciptakan kemakmuran dari hasil migas dan bukan malah sebaliknya menghasilkan kemunduran dan keterbelakangan.

2.1. Ketimpangan konsumsi dan produksi
Bagi sebuah Negara, energi ibarat darah dalam tubuh manusia. Semua sendi kehidupan mulai dari kegiatan rumah tangga, transportasi, pertanian, perkantoran, telekomunikasi, industri, hingga pariwisata-pun memerlukan energi. Baik dalam bentuk energi primer (minyak, gas, dan batubara) maupun dalam bentuk energi sekunder (listrik, dsb). Ketersediaan energi sangat menentukan produktifitas, kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa. Oleh sebab itu, sama seperti pangan, negara tanpa ketahanan energi (energy security) tidak mungkin bisa menjadi besar, maju, dan makmur. Dalam beberapa kali kesempatan, kita sudah seringkali menyebutkan bahwa tiga hal yang kini semakin langka dan berpotensi menimbulkan konflik dimasa depan adalah: ketersediaan makanan, ketersediaan energi, dan ketersediaan air. Hal ini menunjukan betapa besarnya peran energi dalam menggerakkan semua roda kehidupan bangsa.

Pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari energi. Semakin masif pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi intensitas penggunaan energi. Di negara-negara yang kuat secara ekonomi, energi merupakan faktor dominan. Dari data yang dikeluarkan oleh BP Statistical Review 2008[3] kita melihat bahwa Amerika Serikat, misalnya menyerap sekitar 19,4 juta barrel minyak per hari atau hampir 25% dari total produksi minyak mentah dunia sekitar 81,8 juta barrel per hari, diikuti kekuatan ekonomi baru China dengan 8 juta barrel per hari atau sekitar 10% dari total produksi minyak dunia. Selanjutnya Rusia dan Jepang masing- masing mengkonsumsi 2,8 juta barrel/hari (3%) dan 4,8 juta barrel/hari (6%) total produksi minyak mentah dunia. Indonesia sebagai negara yang sedang memacu pertumbuhan ekonominya saat ini mengkonsumsi1,2 juta barrel/hari (1,5%) dari total produksi minyak mentah dunia. Sementara itu dari sisi produksi, USA dan China masing-masing hanya menghasilkan 6,7 juta barrel/hari dan 3,8 juta barrel/hari. Jepang sepenuhnya import. Produsen minyak terbesar dunia masih Arab Saudi dengan produksi 10,8 juta barrel/hari disusul Rusia 9,9 juta barrel/hari.

Dengan membandingkan sisi produksi dan konsumsi maka tampak adanya ketimpangan besar. Ketimpangan ini akan makin jelas tampak jika kita mengamati laju pertumbuhan produksi dan konsumsi. Produksi minyak Amerika (terutama di kawasan Teluk Mexico) sudah melewati masa puncaknya dan dalam kurun 10 tahun terakhir ini (1998 hingga 2007) turun dari 8 juta barrel/hari menjadi 6,8 juta barrel/hari. Hal yang sama juga kita amati dari kawasan Laut Utara. Produksi Norwegia turun dari 3,1 menjadi 2,5 juta barrel/hari dan Inggris turun dari 2,8 menjadi 1,6 juta barrel/hari. Meroketnya harga minyak pada tahun 2008 dari $ 24/barel menjadi $ 140/barel ternyata juga tidak mampu meningkatkan produksi minyak di Negara-negara yang sudah mengalami penurunan secara alami tersebut.

Disisi lain, seiring dengan kemajuan ekonomi maka laju konsumsi tidak dapat direm. Dalam sepuluh tahun terakhir, China, misalnya mengkonsumsi minyak hampir dua kali lipat dibandingkan konsumsinya tahun 1997. Konsumsi India meningkat pesat dari 1,9 menjadi 2,7 juta barrel/hari, demikian juga Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, dll. Bahkan konsumsi Negara penghasil utama minyak duniapun meningkat konsumsinya. Arab Saudi, misalnya meningkat dari 1,2 menjadi 2.2 juta barrel/hari. Krisis ekonomi tahun 2008 hanya membuat konsumsi Negara-negara maju turun sedikit. Namun secara regional, konsumsi Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Timur tetap meningkat.

Data-data tersebut memberikan gambaran betapa terbatasnya ketersediaan sumber energi primer, sementara kebutuhan energi dunia terus meningkat. Indonesia juga mengalami hal yang sama. Konsumsi kita dalam sepuluh tahun terakhir secara umum meningkat dari 0,9 menjadi 1,2 juta barrel/hari. Jauh melampaui kemampuan produksi yang justru menurun dari 1,5 menjadi sekitar 0,97 pada tahun 2007. Kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut mengingat era puncak produksi Indonesia juga sudah terlewati sementara penemuan-penemuan cadangan baru masih sangat terbatas. Pada kurun waktu dewasa ini, minyak bumi dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat cukup pesat dengan laju rata-rata 5-6 persen per tahun.

Seiring dengan melonjaknya harga minyak global memasuki 2005 hingga 2008, konsumsi minyak bumi kita memang sedikit berkurang. Pada 2005 konsumsi minyak mentah Indonesia mencapai 338,3 juta barel dan terus menurun hingga titik terendah 312,1 juta barel pada puncak krisis ekonomi tahun 2008. Namun kenaikan konsumsi kembali terjadi seiring dengan membaiknya perekonomian kita pasca krisis 2008.

2.2. Paradigma Lama Sebagai Negara Kaya Minyak
Persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya persoalan ketimpangan antara produksi dengan konsumsi, melainkan juga masalah efisiensi pemakaian energi yang masih sangat rendah. Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah penduduk Indonesia pada 2010 diperkirakan mencapai 240 juta jiwa. Jumlah itu diprediksi akan terus meningkat menjadi 260 juta jiwa pada 2020. Pada 2003, dibutuhkan sekira 225,1 juta BOE untuk menggerakkan industri. Dengan penduduk sebanyak itu, dari data yang ada di Kementerian ESDM tampak bahwa pemakaian migas kita justru terbesar untuk sektor transportasi, yaitu sekitar 47%, dan rumah tangga sekitar 22%. Sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu industri dan pembangkit listrik, masing-masing hanya menyerap 22% dan 9%. Pengalihan sumber energi primer untuk pembangkit listrik dari BBM ke batubara justru membuat prosentase penyerapan energi untuk sektor transportasi meningkat, sementara prosentase untuk sektor industri relatif konstan.

Kenyataan ini sejalan dengan masih tingginya nilai elastisitas energi Indonesia, yaitu tingkat energi yang diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Konsumsi energi per kapita Indonesia memang kecil yakni 0,467 ton oil equivalent (toe) per kapita dibanding misalnya Jepang 4,14 toe per kapita, namun demikian, intensitas energi Indonesia sampai 470 toe per juta dolar AS PDB sementara Jepang hanya 92,3 toe per juta dolar AS PDB. Sehingga perbandingan elastisitas, pemakaian energi Indonesia menjadi sangat tinggi yakni mencapai 1,84 lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (1,69) dan Thailand (1,16). Sementara Jepang hanya 0,1, Perancis 0,47, AS 0,26, Kanada 0,17, Inggris -0,03 dan Jerman -0,12. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam pemakaian energy di Indonesia lebih boros dibandingkan dengan Negara Negara tersebut. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari kelemahan kebijakan di sektor energi dan sektor-sektor terkait lainnya seperti transportasi, industri, komersial, dan rumah tangga.

Sikap boros energi di Indonesia juga masih ditambah lagi dengan pengelolaan sumber daya migas yang cenderung over-exploiting. Ini dapat kita lihat dari laju pengurasan sumber daya migas. Dari data Key Indicator ESDM 2008[4], kita melihat bahwa dengan jumlah cadangan nasional yang hanya 4,4 miliar barrel, untuk mengejar devisa maka kita menguras minyak kita dengan laju sekitar 1 juta barel/hari. Bandingkan dengan Negara-negara Timur Tengah, misalnya Arab Saudi yang memiliki cadangan minyak 262,7 miliar tapi hanya mengurasnya dengan laju kurang dari 10 juta barel/hari, Iran dengan cadangan 133 miliar barel menguras dengan laju 3,9 juta barel/hari, Irak dengan cadangan 112 miliar barel, menguras dengan laju 2 juta barel/hari. Dilihat dari angka-angka yang ada, tampaknya kita cenderung mengikuti pola pengurasan Negara-negara Barat. Misalnya Amerika Serikat memiliki cadangan nasional 22,4 miliar, menguras dengan laju 7,6 juta barel/hari, Norwegia dengan cadangan 9,8 miliar, menguras dengan laju 3,2 juta barel/hari, dan Uni Eropa dengan cadangan 7,3 miliar, menguras dengan laju 3,4 juta barel/hari.

Dari data diatas maka tampak bahwa Indonesia tidak hanya boros dari sisi konsumsi (yang sudah ditunjukan dengan tingginya indeks elastisitas energi kita), tetapi juga boros dari sisi produksi, yang ditunjukkan dengan laju pengurasan yang sangat tinggi dibandingkan dengan besarnya cadangan yang ada.

Hal yang sama juga terjadi pada energi sekunder. Harga jual listrik yang lebih rendah dari biaya pembangkitannya tidak hanya mengakibatkan pemerintah dari tahun ke tahun memberikan subsidi ke PLN (hingga mencapai Rp 70 triliun dengan asumsi harga minyak dunia 80 dolar AS per barel) tetapi juga menyebabkan tidak bisa berkembangnya sumber energi alternatif lainnya. Biaya pembangkitan listrik dari batubara (asumsi harga US$ 70/ton) adalah 6 sen dollar/kWh, untuk gas (dengan asumsi harga US$ 6/MMBTU) adalah 8 sen dollar/kWh, dan untuk BBM (Rp.8000/liter) adalah 26 sen dollar/kWh. Dari data tahun 2007 kita melihat komposisi listrik yang dibangkitkan dari BBM sebesar 23,6 GWh, dari batubara 50,5 GWh, dan gas sebesar 33,9 GWh. Namun biaya untuk pembangkit listrik BBM Rp. 31,8 triliun, pembangkit listrik dari batubara Rp. 7 triliun, dan pembangkit listrik dari gas Rp. 7,8 triliun.

Menyadari hal ini, Pemerintah telah mendorong transisi pembangkitan listrik dari penggunaan BBM ke gas alam dan batu bara yang ketersediaannya masih cukup besar. Salah satunya adalah dengan program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW yang mengandalkan batu bara sebagai sumber energinya, namun usaha ini terkendala dengan tiadanya sinkronisasi dengan kebijakan penyediaan sumber energi primer. Dari 198 juta ton produksi batu bara tahun lalu, hanya seperempatnya yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, sementara selebihnya diekspor. Akibatnya tentu saja sejumlah pembangkit listrik berbahan bakar batubara sering mengalami krisis kekurangan pasokan bahan bakar. Hal yang sama juga terjadi pada pembangkit listrik gas, lebih dari separuh produksi gas alam sudah terikat dengan kontrak ekspor berjangka sehingga menyulitkan memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Akar persoalan dari kelangkaan batubara maupun gas untuk pembangkit listrik adalah soal disparitas harga ekspor dan harga domestik. Dengan pembatasan harga jual listrik yang ditetapkan pemerintah maka PLN tidak memiliki kemampuan finansial untuk membeli gas maupun batubara dengan harga keekonomiannya. Dalam posisi keuangan yang sangat terbatas PLN tentu lebih memilih menggunakan BBM, mengingat selisih biaya pembangkitannya akan disubsidi oleh pemerintah.

Kedua persoalan pada penyediaan energi primer dan energy sekunder yang disebutkan diatas mengakibatkan pemerintah, misalnya pada APBN-P 2008 harus menganggarkan biaya subsidi migas Rp. 126,8 triliun dan subsidi listrik Rp. 60,3 triliun. Jadi pendapatan pemerintah pusat dari sektor energy (PPh migas dan PNBP migas) sebesar Rp.236,6 triliun sebagian besar digunakan untuk membiayai subsidi migas sebesar Rp. 187,1 trilun. Ini tentu jumlah yang sangat luar biasa karena nilainya mencapai 20% dari APBN (Rp.895 triliun).

‘Penyakit’ subsidi migas dan listrik ini tidak terlepas dari pola pikir masyarakat yang terbentuk dari wacana Indonesia sebagai Negara yang kaya dengan sumber alam. Pemikiran bahwa Indonesia adalah Negara penghasil minyak membuat masyarakat terlena dan berpikir seolah ketersediaan minyak kita melimpah ruah dan menuntut bahwa energi migas harus murah. Pola pikir energi murah juga membuat masyarakat bersikap boros dalam pemakaian energi. Kebijakan-kebijakan mempertahankan subsidi yang selama ini diterapkan pemerintah juga makin memperteguh pola pikir masyarakat Indonesia bahwa energi itu tersedia dalam jumlah yang melimpah dengan harga murah. Akibatnya kita selalu terbelit dalam persoalan subsidi dalam rangka penyediaan energi murah. Besarnya subsidi ini tentu saja sangat memberatkan keuangan Negara, dan terutama membuat ketahanan negara sangat rentan terhadap gejolak harga minyak dunia.

Melihat fakta-fakta diatas maka perlu ada perubahan paradigma dari penyediaan energi murah menjadi penyediaan ‘energi dengan harga terjangkau’. Pengertian terjangkau ini memiliki makna: 1). ada penghargaan terhadap sumber daya migas sebagai sumber energi yang tak terbarukan, 2). Kemampuan untuk mencari sumber migas di pasar internasional, dan 3). ada keterkaitan antara harga energi dengan daya beli masyarakat.

2.3. Ketahanan energi
Beberapa hal yang membuat Ketahanan energi nasional sangat rentan terhadap gejolak perekonomian dunia adalah:

1. Dari sisi supply, terbatasnya kegiatan eksplorasi mengakibatkan kenaikan cadangan kita sangat rendah. Sementara lapangan-lapangan yang sudah ada telah melewati masa puncak produksinya dan kini masuk pada tahap penurunan produksi secara alamiah. Dengan laju pengurasan yang sangat tinggi maka sisa cadangan minyak di dalam negeri sudah jauh berkurang. Namun disisi lain, kebutuhan akan energi terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan perekonomian negara. Jumlah konsumsi yang sudah melampaui kemampuan produksi dalam negeri mengharuskan Indonesia masuk ke pasar internasional dan bersaing dengan Negara-negara konsumen lainnya untuk mendapatkan supply minyak. Ini menempatkan Indonesia rawan terhadap gejolak harga minyak dunia.

2. Dari sisi konsumsi, kita termasuk Negara yang sangat boros yang diindikasikan dengan tingginya indeks elastisitas energi kita. Kita terlena dengan paradigma energi migas tersedia melimpah dan murah. Hampir 70% BBM dikonsumsi oleh kegiatan domestik (yaitu transportasi dan rumah tangga) yang kurang memberikan nilai tambah dan hanya sekitar 30% digunakan untuk kegiatan yang memberikan nilai tambah (untuk industri dan listrik).

3. Kebijakan penetapan harga BBM dan tarif listrik dibawah nilai keekonomiannya mengakibatkan Negara harus menanggung subsidi BBM dan listrik yang sangat besar. Tahun 2008 bahkan mencapai Rp. 200 triliun, atau sekitar 22% dari APBN. Angka ini lebih besar dari anggaran pendidikan yang mencapai 20%.

4. Indonesia masih menghadapi krisis listrik. Rasio elektrifikasi nasional baru mencapai 64 persen, sedangkan rasio desa berlistrik masih 85 persen. Pemanfaatan energi primer untuk pembangkit listrik 25% masih memakai BBM. Namun biaya yang dibutuhkan mencapai 70% dari keseluruhan biaya pembangkitan.

5. Komposisi bauran energi kita didominasi BBM sebesar 54,4% dari total energi nasional sementara pemanfaatan energi terbarukan masih sangat rendah yaitu 1,6%.

Selain kelima faktor diatas, hal lain yang juga membuat ketahanan energi kita rentan terhadap perekonomian dunia adalah masalah SDM. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber energi primer, khususnya minyak dan gas, dikenal sebagai kegiatan bisnis yang padat resiko, padat modal, dan padat teknologi. Indonesia masih memiliki keterbatasan dalam penguasaan teknologi energi baik dari hulu maupun hilir. Karena itulah maka eksplorasi dan eksploitasi sumber energi primer, minyak dan gas bumi masih dikuasai asing.

Dengan menyadari serta melakukan analisis terhadap kondisi yang ada maka arah pembinaan untuk meningkatkan Ketahanan Energi kita harus mencakup kelima hal plus persoalan SDM diatas. Paradigma pemenuhan kebutuhan energi harus dirubah. Sekian lama Indonesia mengambil kebijakan bahwa energi harus tersedia dengan harga murah. Ini dilakukan dengan mensubsidi harga BBM yang dijual di Indonesia. Kebijakan ini terbukti kurang berhasil meningkatkan taraf hidup rakyat, karena salah sasaran. Dari hasil penelitian ternyata sekitar 70% subsidi malah hanya dinikmati oleh sekitar 40% masyarakat lapisan menengah keatas. Sebagian besar rakyat miskin tidak mendapatkan manfaat dari pemberian subsidi BBM tersebut. Atas kenyataan ini, pemerintah kemudian mengubah pola subsidi, yang semula subsidi barang (BBM) menjadi subsidi orang, disamping melakukan konversi minyak tanah ke elpiji.

Perubahan juga sudah terjadi tentang pengertian Kemandirian Energi. Jika sebelumnya kita memahami bahwa kemandirian energi dalam pengertian self-sufficiency, yaitu terpenuhinya kebutuhan energy migas dengan memproduksikan sumber-sumber migas sebanyak-banyaknya sehingga dapat menutupi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah sudah mendefinisikan pengertian Kemandirian Energi dengan mengaitkannya kepada:

1. Ketersediaan (security of energy supply)
Mengurangi ketergantungan kepada impor dengan menaikkan produksi migas dalam negeri.

2. Aksesibilitas (infrastructure availability)
Membangun dan memperbaiki infrastruktur migas sehingga sumber-sumber produksi mudah dijangkau oleh konsumen.

3. Daya beli (willingness to pay)
Peningkatan daya beli dengan mengarahkan subsidi terutama kepada masyarakat lapisan bawah.

Melihat perkembangan selanjutnya perubahan paradigma ini perlu lebih dipertajam lagi. Kita mengetahui bahwa sebagian besar elpiji yang digunakan untuk menggantikan minyak tanah juga diimpor oleh Pertamina dari Luar Negeri, tentu dengan harga pasar Internasional. Elpiji impor ini kemudian dijual ke masyarakat bawah dalam botol 3 kg dengan harga subsidi. Hal ini masih membawa kerentanan bagi Ketahanan Nasional, mengingat: 1. terbatasnya ketersediaan elpiji di pasaran internasional, dan 2. terbatasnya keuangan Pertamina untuk menanggung beban subsidi. Dengan demikian pemberlakuan subsidi kepada orang dan konversi ke elpiji itu hanya merupakan solusi sementara. Diperlukan upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat dari penyediaan energi murah menjadi penyediaan energi yang terjangkau. Pengertian ‘terjangkau’ disini mengandung unsur-unsur dengan pengertian yang diperluas sbb:

1. Ketersediaan
Energy fosil (minyak, gas, dan batubara) adalah energi yang tak terbarukan. Dengan mengingat bahwa laju pengurasan kita termasuk salah satu yang tercepat didunia, maka kita harus segera mengembangkan energi alternatif lain untuk mengantisipasi habisnya energi fosil. Hal ini menyangkut percepatan realisasi bauran energi (energy mixed) sebagaimana yang disusun dalam blue-print energy nasional. Ketimpangan harga energi minyak dengan harga energi alternatif lain (biofuel, panas bumi, surya, nuklir, dll) harus diseimbangkan. Pemberian subsidi BBM di hilir plus paket-paket insentif yang diberikan pada investor migas di bagian hulu harus diimbangi pula dengan paket-paket serupa kepada investor untuk pengembangan energy alternatif lain di Indonesia. Sehingga berbagai sumber energi tersebut dapat bersaing dalam tataran playing field yang sama.

2. Aksesibilitas
Pengertian aksesibilitas disini tidak hanya berarti membangun dan memperbaiki jaringan infrastruktur migas di dalam negeri saja. Mengingat bahwa Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan diri kepada sumber energi yang ada di dalam negeri, maka kemampuan untuk mencari sumber-sumber energi lain di luar negeri juga harus ditingkatkan. Pertamina, Medco, EMP (Bakrie Group) yang merupakan perusahaan-perusahaan nasional (National Oil Company atau NOC) harus didorong dan dibantu agar dapat menjadi ujung tombak pengusahaan sumber energi nasional di luar negeri.

3. Daya beli
Perlu dilakukan upaya yang terintegrasi dari kegiatan di bagian hulu sampai ke bagian hilir untuk meningkatkan efisiensi pemakaian energi. Sektor perhubungan / transportasi, yang merupakan pengguna BBM terbesar (hampir 50%) harus benar-benar dibenahi. Pembangunan angkutan massal (public transport) harus mendapat perhatian serius. Pemerintah harus berani memberikan insentif bagi investor yang bergerak di bidang transportasi yang dapat menghemat biaya BBM. Insentif juga harus diberikan oleh pemerintah kepada kendaraan umum maupun pribadi yang menggunakan BBG, misalnya dalam bentuk pengurangan pajak, dsb. Konsumsi BBM untuk rumah tangga harus dikurangi dengan mengalihkan subsidi BBM ke pembangunan jaringan gas kota serta insentif penggunaan briket batubara bagi masyarakat yang tidak terjangkau oleh jaringan gas kota. Disamping upaya-upaya pemerintah untuk terus meningkatkan elektrifitasi di segenap pelosok tanah air, pemerintah juga harus membantu masyarakat pedesaan dalam pengembangan ‘desa mandiri’ dengan pembangkit listrik mikro-hydro, bio-gas, dsb.

Upaya-upaya untuk mengubah mind-set masyarakat dari ‘energi murah’ menjadi ‘energi terjangkau’ ini harus terus-menerus dilakukan sehingga benar-benar terbentuk kesamaan visi pada berbagai pemangku kepentingan di negeri ini serta terbentuk sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sebagaimana halnya kebutuhan pangan, maka energi harus dipandang sebagai kebutuhan primer. Pemenuhan kebutuhan energi merupakan kunci bagi terwujudnya ketahanan ekonomi yang merupakan bagian dari ketahanan nasional. Sebagaimana diungkapkan di depan, energi ibarat darah dalam tubuh manusia. Kekurangan darah dapat menimbulkan penyakit-penyakit lain dan bahkan mengancam keselamatan jiwa.

2.4. Peningkatan kualitas SDM
Pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz (2001)[5] menunjukkan hasil pengamatannya bahwa dua pertiga dari Negara-negara anggota OPEC hidup dalam kemiskinan karena hasil pengurasan migas di negara-negara tersebut hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang saja. Pendapat ini diperkuat oleh Terry Lynn Karl[6] dalam tulisannya Understanding the Resource Curse juga mengatakan bahwa Negara-negara yang hidupnya tergantung dari minyak justru menjadi Negara yang perekonomiannya paling kacau, paling otoriter, serta paling penuh dengan konflik. Dia mencontohkan Venezuela, Algeria, Angola, Congo, Equador, Gabon, Iran, Irak, Kuwait, Libya, Qatar, bahkan Arab Saudi adalah beberapa diantara Negara yang perekonomiannya justru mundur setelah menjadi negara penghasil minyak. Terry menyebutkan 4 hal yang membuat hal itu terjadi:

1. Harga minyak yang selalu bergejolak mengacaukan penyusunan anggaran dan perencanaan pembangunan. 

2. The Dutch Desease, yaitu masuknya petro-dollar mengakibatkan kurs mata uang Negara tersebut meningkat dan membuat produk-produk non-migas (pertanian, manufaktur, dsb) dari Negara tersebut menjadi tidak kompetitif sehingga menyulitkan diversifikasi sumber perekonomian.

3. Tidak tumbuhnya penguasaan teknologi di dalam negeri membuat rendahnya produktifitas yang merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi. Tidak tumbuhnya perekonomian menyebabkan kesenjangan kemakmuran makin melebar.

4. Proyek migas cenderung ‘tertutup’ dan menyisakan sedikit sekali kaitannya dengan kegiatan ekonomi lain di Negara tersebut. Hasil pendapatan migas umumnya masuk ke pemerintah secara langsung dan bukan sebagai pajak dari pertumbuhan ekonomi. Akibatnya kontrol terhadap pemerintah dari masyarakat pembayar pajak menjadi sangat rendah.

Belajar dari hal tersebut maka jelas bahwa faktor SDM memegang peranan penting. Sebelumnya telah diuraikan bahwa pemenuhan kebutuhan energi sangat penting artinya bagi kelangsungan perekonomian nasional. Dengan tercukupinya kebutuhan energi maka perekonomian akan tumbuh dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Untuk menumbuhkan perekonomian maka penguasaan teknologi bagi industri migas sebanyak mungkin harus dilakukan di dalam negeri. Ini akan melahirkan SDM nasional dengan kualifikasi yang sangat tinggi. Penguasaan teknologi di dalam negeri akan menghasilkan produk-produk nasional dan selanjutnya proyek-proyek migas-pun harus memanfaatkan sebanyak mungkin produk-produk dalam negeri tsb. Dengan demikian terjadi hubungan timbal balik secara positif antara pemenuhan kebutuhan energi – peningkatan perekonomian – peningkatan kualitas SDM.

II. KESIMPULAN
Dari uraian diatas kita melihat bahwa Indonesia memiliki potensi kerawanan ketersediaan energi yang sangat besar. Dari sisi supply kita melihat belum adanya sinergi antara pengurasan migas secara besar-besaran dengan pencarian sumber-sumber cadangan baru. Pencarian cadangan baru di luar negeri juga belum menampakkan hasil yang nyata dan belum mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Sementara itu porsi minyak dan gas masih memegang peranan sangat besar dalam bauran energi nasional kita 25 tahun yang akan datang.

Menipisnya cadangan migas juga tidak mengubah pola konsumsi kita. Dari sisi demand side kita masih melihat keengganan pemerintah untuk secara konsisten melepaskan subsidi migas. Kebijakan-kebijakan yang diambil masih cenderung situasional dan “cari aman”. Selain belum berhasil menyadarkan masyarakat terhadap potensi kerawanan energi, pemerintah juga masih belum berhasil membangun sinergi antara instansi satu dengan lainnya dalam upaya membangun energi sekuriti. Antara bisnis hulu migas dengan bisnis hilir (PLN, petrokimia, refinery, dsb) dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.

Demikian juga belum tampak ada sinergi antara pengelolaan energi primer yang satu dengan energi primer lainnya. Demikian pula kurang sinergi kebijakan antar instansi-instansi lain yang terkait dengan sektor migas (Perhubungan, Ketenagakerjaan, Lingkungan, Kehutanan, dsb). Selain itu, pemerintah juga belum berhasil mengkonversi hasil migas menjadi aset industri. Kebijakan mengutamakan local-content hanya menghasilkan bisnis rente yang justru memperbesar biaya produksi migas.

III. SARAN
Pemerintah perlu membuat kebijakan yang tegas, jelas, dan konsisten dalam upaya meningkatkan ketahanan energi nasional. Perlu menyadari kerawanan dalam penyediaan energi di masa mendatang dan melakukan upaya-upaya serius untuk mengantisipasi kerawanan energi tersebut.

Masyarakat juga perlu diberi sosialisasi tentang kebijakan-kebijakan energi yang dilakukan pemerintah dalam upaya menjamin ketersediaan energi yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas.

Referensi:
1. JPT, july 2008
2. Covering Oil: A Reporter’s Guide to Energy and Development, Open Society Institute, 2005
3. BP Statistical Review 2008
4. Key Indicator Indonesian Energy and Mineral Resources
5. Paparan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada Luncheon Talk IPA 2009


[1] JPT, july 2008 
[2] Covering Oil: A Reporter’s Guide to Energy and Development, Open Society Institute, 2005 
[3]BP Statistical Review 2008 merupakan hasil kajian BP (perusahaan minyak internasional) atas kemampuan produksi semua Negara penghasil migas dan kebutuhan konsumsi semua Negara konsumen migas dunia. 
[4] Key Indicator Indonesian Energy and Mineral Resources dikeluarkan oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) ESDM 
[5] Covering Oil: A Reporter’s Guide to Energy and Development, Open Society Institute, 2005 
[6] Covering Oil: A Reporter’s Guide to Energy and Development, Open Society Institute, 2005