PERUMUSAN RUU MIGAS HARUS MENERAPKAN ASPEK GOVERNANCE


[NEWS] 1 November 2016 UP45, Jakarta, EnergiToday--  Para pakar ekonomi dan energi dalam Focus Group Discussion (FGD) oleh IRESS bertema “Aspek Governance dalam Pengelolaan Migas Nasional” beberapa waktu lalu sepakat bahwa penerapan aspek governance dalam manajemen BUMN migas mendesak untuk dijalankan.

Hal ini harus dituangkan dalam bentuk peraturan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Migas yang baru. “Di beberapa negara, pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang disertai dengan penerapan prinsip tata kelola yang baik telah berkontribusi pada optimasi penerimaan negara sektor SDA, dan berperan terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat,” ujar Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.

Sejalan dengan itu, maka sangat penting menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN dan juga lembaga negara seperti Kementerian ESDM. Tata kelola yang baik merupakan prinsip pengelolaan SDA yang dilaksanakan demi menjaga kepentingan negara dan rakyat, agar SDA bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. "Penerapan aspek governance harus segera diperbaiki dan ditingkatkan agar pengelolaan migas nasional dapat sesuai dengan amanat konstitusi," katanya.

Guna menghindari KKN, maka pengelolaan SDA migas perlu dijalankan dengan penguatan aspek governance melalui tata kelola yang baik oleh pemerintah (good governance) maupun oleh BUMN (good corporate governance, GCG). "Untuk itu, pelaksanaanya tidak cukup hanya merujuk pada peraturan yang ada saat ini yaitu Peraturan Menteri BUMN No. 01/MBU/2011, tetapi harus melalui peraturan dengan hirarki lebih tinggi, yakni undang-undang," ucap Marwan.

Dipaparkan olehnya, melalui Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/2012, BUMN telah ditetapkan sebagai lembaga yang mewakili pemerintah mengelola aset SDA milik negara pada sektor strategis dan menyangkut hajat hidup rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 1945. "Dengan wewenang BUMN strategis tersebut, maka Pertamina misalnya, akan menjadi pengelola aset atau kustodian atas cadangan terbukti minyak sebesar 3,6 miliar barel dan cadangan terbukti gas 141 TCF," jelasnya.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan GCG Pertamina adalah dengan menjadikannya sebagai perusahaan terbuka bagi publik dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). "Namun guna mempertahankan agar 100% sahamnya tetap dimiliki negara, maka statusnya sebagai perusahaan terbuka tersebut perlu diatur secara khusus, sehingga Pertamina (atau juga PLN) perlu ditetapkan sebagai non-listed public company (NLPC)," papar Marwan.

Untuk itu, maka sudah sepantasnya jika DPR dan Pemerintah RI membuat ketentuan khusus tentang NLPC tersebut dalam UU Migas yang baru.

Sementara itu Nur Pamudji dalam FGD tersebut mengatakan ketika BUMN kita menjalankan prinsip GCC, maka BUMN tersebut menjadi kredibel saat perusahaan lain akan bekerja sama atau melakukan relasi bisnis. "Perusahaan atau investor tersebut akan memiliki trust, sehingga percaya diri untuk melakukan aksi-aksi korporasi selanjutnya," jelas Nur Pamudji.

Ditambahkan olehnya, aspek governance pada lembaga pemerintah seperti Kementerian ESDM atau SKK Migas, maupun BUMN seperti Pertamina dan PLN, perlu tertuang dalam regulasi tertulis, sehingga semua orang di dalam atau di luar institusi dapat mempelajari. "Jika GCG sektor migas atau energi Indonesia baik, maka pemain atau perusahaan akan tertarik untuk berinvestasi," ucapnya.

Sedangkan Andang Bachtiar meminta agar pemerintah dan DPR memperhatikan secara serius penetapan kebijakan dan aturan yang khusus terkait kegiatan eksplorasi migas guna menjamin ketahanan energi nasional yang berkelanjutan. Untuk itu BUMN/Pertamina harus diberi peran khusus untuk mengelola dana migas (petroleum fund) guna mendukung kegiatan eksplorasi yang akan meningkatkan cadangan terbukti migas nasional.

Di samping itu, dalam 3-4 tahun ke depan, BUMN migas kita juga harus siap untuk melanjutkan pengelolaan sekitar 20 kontrak migas yang berakhir masa kontraknya. "Dalam kondisi demikian, maka aspek GCG Pertamina menjadi semakin mendesak untuk diatur, yakni dalam UU Migas yang baru," kata Andang.

Para nara sumber sepakat bahwa intervensi dari pihak-pihak di luar korporasi atau lembaga sering terjadi, menimbulkan KKN, serta telah menghambat kemajuan korporasi dan optimasi penerimaan negara. Penerapan GCG pun memerlukan konsistensi dalam pelaksanaan peraturan dan tidak sering berubah.

Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip GCG perlu diiringi dengan ketentuan penerapan sanksi hukum. Oleh sebab itu aspek GCG penting untuk diatur dalam hierarki peraturan yang lebih tinggi, sehingga ketika ada pelanggaran  hukum, pelakunya dapat dikenakan sanksi.

M. Said Didu berpendapat, penerapan  prinsip governance dalam pengelolaan migas perlu memperhatikan bahwa aset sumber daya migas harus bisa dimonetisasi, peran operator dan regulator migas tetap terpisah, dan negara harus memiliki operator migas yang kuat.

Selain itu, Said mengatakan agar setiap risiko bisnis migas berhenti di korporasi, dan tidak sampai melibatkan melibatkan pemerintah atau negara. "Oleh sebab itu aspek GCG menjadi sangat penting diatur. Untuk maksud tersebut, DPR dan pemerintah dapat memanfaatkan kajian dan proposal tentang NLPC yang telah dilakukan oleh Kementerian BUMN periode 2004-2009," bebernya.

Sebagai kesimpulan, seluruh nara sumber FGD sepakat agar pemerintah menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam pengelolaan migas nasional, dan ketentuan-ketentuannya perlu dituangkan dalam UU Migas baru.

“Selanjutnya, bersamaan dengan hal tersebut, mengingat perannya yang strategis sebagai pengelola sektor migas nasional, maka perlu dibuat aturan khusus tentang GCG Pertamina berupa NLPC, yaitu perusahaan yang terdaftar di bursa dan terbuka bagi publik, namun 100% sahamnya tetap dimiliki oleh negara,” tukas Marwan. [SUMBER]