[News] 22 Agustus 2015 UP45 MigasReview, Jakarta - Bonus produksi panas bumi untuk daerah penghasil dinilai dapat mengganjal operator panas bumi yang telah lama beroperasi.
Hal itu karena operator panas bumi masih dikenai tarif harga jual listrik lama yang terlalu murah yakni US$6 – 7 sen/kWh. Meski demikian, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai bonus produksi panas bumi saat ini sudah mencapai tahap akhir.
Presiden Indonesia Geothermal Association (INAGA) Abadi Poernomo mengapresiasi bonus produksi panas bumi yang dituangkan dalam peraturan pemerintah. “Bonus produksi dapat memberikan manfaat secara langsung kepada pemerintah daerah penghasil panas bumi mengingat adanya tambahan untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD),” ucapnya pada hari ketiga pameran The Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) di JCC Senayan, Jumat (21/08).
Meski demikian, kata dia, bonus produksi panas bumi menjadi permasalahan bagi PLTP yang telah lama beroperasi seperti PLTP Kamojang dan PLTP Gunung Salak yang mendapatkan return US$6 – 7 sen/kWh. “Bonus produksi bagi daerah eksisting akan mengubah struktur keekonomiannya,” tuturnya.
Abadi mengharapkan pembahasan lebih lanjut dengan pemerintah agar PLTP yang sudah beroperasi dapat memberikan bonus produksi namun juga tidak mengubah struktur keekonomian bagi PLTP tersebut. “Perlu pembicaraan dengan pemerintah untuk mencari jalan keluar supaya kita tidak mengingkari amanat Undang-Undang Panas Bumi No 21 Tahun 2014,” terangnya.
RPP mengenai bonus produksi sudah mencapai tahap akhir. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said sudah menyurati Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro untuk memfinalisasi RPP tersebut.
Bonus produksi panas bumi berasal dari hasil produksi listrik panas bumi yang langsung dibagi kepada pemerintah daerah. Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, bonus produksi panas bumi dari sembilan PLTP yang beroperasi sebanyak Rp35 miliar per tahun. [SUMBER]