[NEWS] 21 April 2016 UP45 Jakarta, Katadata.co.id- Jika fungsi SKK Migas dikembalikan kepada Pertamina maka dikhawatirkan
akan menciptakan konflik kepentingan dan berpotensi korupsi lantaran
fungsi regulasi dan bisnis menjadi satu.
Fungsi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas) masih akan tetap dipertahankan di masa depan. Hal
ini mengacu kepada Rancangan Undang-Undang Migas yang saat ini masih
digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, bentuk kelembagaan dan
posisi SKK Migas nantinya masih belum ditentukan.
Anggota Komisi
Energi DPR Satya Widhya Yudha mengatakan, selama pengelolaan hulu migas
di Indonesia masih menggunakan sistem kontrak bagi hasil atau production sharing contract
(PSC) maka fungsi atau peran SKK Migas masih diperlukan. Sebab,
pemerintah membutuhkan sebuah institusi untuk melakukan kajian ulang
terhadap penerimaan negara di sektor migas.
Meski begitu, kelembagaan SKK Migas sampai saat ini masih dalam tahap
pembahasan. Selain skema saat ini yang berlaku, Satya mengatakan ada
tiga opsi pengelolaan hulu migas. Pertama, kuasa tambang masih ada di
tangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), namun
pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN).
Kedua, kuasa tambang tetap dipegang Menteri ESDM tapi pelaksana
kegiatan tambang ada di BUMN dan Pertamina.
Ketiga, kuasa tambang dan pelaksana kegiatan tambang dilakukan oleh
Pertamina. Opsi terakhir ini sama seperti dulu, yakni pengelolaan migas
dilakukan perseroan, dalam hal ini Pertamina, melalui Badan Pengawasan
Pengusahaan kontraktor Asing (BPPKA). “SKK Migas bisa saja disatukan
dengan Pertamina atau menjadi bagian BUMN yang khusus,” kata Satya dalam
acara diskusi mengenai pembahasan RUU Migas, di Jakarta, Rabu (20/4).
Di
tempat yang sama, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N.
Wiratmaja Puja mengatakan pemerintah menginginkan RUU Migas memuat
pemisahan antara fungsi regulator dan kepentingan bisnis. Untuk itu, SKK
Migas lebih baik dibentuk menjadi BUMN khusus (BUMNK). “SKK Migas lebih
ke arah bisnisnya. Kalau sekarang kan sebagian sebagai regulator,
sebagian sebagai bisnis,” kata dia.
Selain mengubah kelembagaan SKK Migas, pemerintah juga ingin
memperkuat keberadaan Pertamina lantaran 100 persen sahamnya dimiliki
oleh negara. Dalam draf RUU Migas, Pertamina nantinya akan mendapatkan
beberapa keistimewaan. Salah satunya mengenai skema pengelolaan
wilayah migas. Pemerintah akan memberikan izin pengelolaan wilayah migas
kepada Pertamina dan BUMNK. BUMNK ini nantinya bisa berkerjasama dengan
kontraktor lain dengan skema kontrak bagi hasil atau production sharing contract
(PSC). “Jadi kontrak PSC semua lewat BUMN khusus. Kalau Pertamina ingin
royalti langsung, jadi tidak lewat BUMN Khusus,” ujar dia.
Di
sisi lain, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
Hikmahanto Juwana mengatakan jika fungsi SKK Migas dikembalikan kepada
Pertamina maka dikhawatirkan akan menciptakan konflik kepentingan dan
berpotensi menimbulkan korupsi lantaran fungsi regulasi dan bisnis
menjadi satu. Untuk itu, kelembagaan SKK Migas sebaiknya menjadi BUMNK.
Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. “Cuma masalahnya BUMN
Khusus seperti apa, saya tidak tahu. Itu terserah pengambil keputusan,”
ujar dia.
Sementara itu, pelaku usaha hulu migas menginginkan UU Migas yang baru
bisa memberikan kepastian kepada investor. Vice Chairman Regulatory
Affairs Indonesian Petroleum Association (IPA) Hardi Hanafiah mengatakan
aturan tersebut juga harus ramah untuk iklim investasi di Indonesia.
“Kami ingin Indonesia menjadi salah satu pilihan berinvestasi,” ujar
dia. [SUMBER]