IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MIGAS LAMBAT JADI TANTANGAN UTAMA


[NEWS] 28 Oktober 2016 UP45, TEMPO.CO, Jakarta - Lambatnya penerapan kebijakan masih menjadi tantangan utama industri hulu minyak dan gas bumi meskipun harga minyak akan terkerek naik pada 2017.

Analis Grup Riset DBS William Simadiputra mengatakan harga minyak memang menjadi hambatan investasi di sektor hulu migas. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi pelaku industri hulu berasal dari ketidakpastian politik dan kebijakan.

Dari hasil riset DBS Regional Industry Report: Oil and Gas, reformasi tata kelola migas yang menjadi agenda pemerintah pun dianggap masih lambat. Padahal, dalam situasi seperti ini, tuturnya, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan untuk membuat iklim usaha lebih kondusif. Persoalannya, upaya pemerintah melakukan pembenahan pun belum bisa mendorong produksi migas nasional.

“Harga minyak memang hambatan, tapi lambatnya pelaksanaan kebijakan dan reformasi energi merupakan risiko utama industri migas Indonesia di masa mendatang,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Senin (24 Oktober 2016).

Dalam riset disebutkan, pemulihan di industri hulu haruslah berpangkal dari sumber arus kas, yakni harga minyak dan belanja modal (capital expenditure/capex) perusahaan migas. Menurunnya harga minyak sejak pertengahan 2014 telah memaksa perusahaan memangkas belanja modal di tengah tingginya biaya produksi.

Kedua faktor ini menjadi risiko yang mengancam pemulihan di industri migas dalam jangka panjang. Harga minyak yang rendah menyebabkan perusahaan kesulitan untuk menaikkan dana investasi.

Saat ini harga minyak menunjukkan tren kenaikan ke US$45 per barel hingga US$50 per barel, atau lebih tinggi dari perkiraan awal tahun US$43 per barel. Sementara, pada 2017 diperkirakan harga minyak menyentuh angka US$50 hingga US$55 per barel. Harga minyak pun terus naik dengan perkiraan menyentuh US$60 hingga US$65 per barel pada 2018.

Namun, sulit bagi sektor industri migas untuk memulihkan keadaan di tengah lingkungan seperti saat ini. Di Indonesia, industri migas masih memiliki daya tahan tinggi di tengah rendahnya harga minyak dunia. Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menjalankan strategi efisiensi dan diharapkan dapat menurunkan biaya produksi yang saat ini mencapai US$25 per barel.

Untuk dapat bertahan, kontraktor fokus pada blok migas yang menguntungkan dan menunda rencana produksi blok migas berbiaya tinggi, terutama di kawasan lepas pantai (offshore). Di sisi lain, efisiensi menekan margin perusahaan jasa kontraktor dan dan kapal penunjang lepas pantai karena menurunnya kontrak.

Riset Kelompok DBS mencatat perbaikan harga minyak ini tergantung pada sejumlah faktor kunci, antara lain: Keberhasilan konsolidasi industri melalui proses merger dan akuisisi, kemampuan perusahaan migas besar menaikkan belanja modal, peningkatan utilisasi penggunaan rig dan kemampuan perusahaan kapal penunjang lepas pantai melakukan pergantian kapal-kapal tua.

Jika harga minyak berhasil pulih, perusahaan yang bakal langsung menikmati hasilnya adalah yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi (E&P). Sedangkan bagi perusahaan pengolahan (refining), kenaikan harga minyak mentah bisa menurunkan margin keuntungan. Namun, penurunan tersebut bisa ditutup dari stok yang melimpah yang dibeli saat harga minyak rendah.

Demikian pula bagi perusahaan penyedia jasa rig dan perkapalan yang belum mendapatkan sentimen positif dari tren kenaikan harga minyak. Keduanya masih menghadapi ketidakpastian permintaan dalam satu hingga dua tahun mendatang. [SUMBER]