[NEWS] 31 Oktober 2016 UP45, TEMPO.CO, Jakarta
- Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria menilai adanya
wacana pembentukan holding energi dengan induk Pertamina merupakan hal
yang wajar. Sebab, Pertamina memiliki aset dan penghasil uang paling
besar.
“Bila Pertamina ditunjuk sebagai holding energi dimana di bawahnya termasuk PLN ya nggak ada masalah, karena holding kan sifatnya hanya mengkoordinir,” kata Sofyano dalam keterangan tertulis, Jumat 30 Oktober 2016.
Namun menurut Sofyano, sejauh ini holding energi masih dalam tahap penjajagan dan evaluasi, karena belum ada keputusan berupa SK atau peraturan pemerintan (PP) yang menunjuk Pertamina sebagai induknya. Penujukkan Pertamina sebagai holding energi membutuhkan aturan hukum yang jelas.
“Yang dibutuhkan payung hukum bahwa Pertamina merupakan induk holding energi yang membawahi migas, listrik, panas bumi, dan lain-lain,” ucap pengamat energi itu.
Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara menyebutkan bahwa holding energi merupakan holding raksasa atau super holding. Kalau bicara soal holding besar, negara bisa meniru Hasanah di Malaysia atau Temasek di Singapura. Kedua holding raksasa negara tetangga itu terbukti efisien dan bisa bersaing di tingkat dunia.
Menurut Marwan, sebelum masuk holding raksasa harus diperkuat dulu holding masing-masing sektor. “Saat ini, Kemeneg BUMN kan sudah merupakan holding besar, tapi kalau sektor belum ada holdingnya sehingga yang ada adalah persaingan yang kurang sehat," katanya.
Misalnya antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan PT Pertamina Gas (Pertagas) ada duplikasi pembangunan sarana, tapi ada juga sarana yang tidak dibangun. "Implikasinya bisa menyebabkan harga gas mahal karena adanya persaingan,” ucap Marwan.
Marwan mengakui bisa saja PLN di bawah holding energi dengan koordinator Pertamina, tapi kondisinya tidak mendesak untuk saat ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah peran pemerintah agar kinerja PLN bisa mengaliri listrik seluruh Indonesia dengan tarif murah.
“Tentu memerlukan biaya, 65 persen biaya tersebut digunakan untuk biaya energi primer (solar, gas, batubara). Nah pemerintah seharusnya berperan untuk mengatur harga energi ke PT PLN (Persero) agar bisa lebih murah” ucap Marwan.
Sebelumnya berkembang wacana bahwa penggabungan PLN dan Pertamina yang sudah ditunjuk sebagai holding energi merupakan hal yang ideal dibandingkan rencana PLN mengakuisi saham PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan Pertamina.
Dengan penggabungan tersebut, Pertamina sebagai induk usaha nantinya tidak akan kesulitan memasok bahan bakar minyak (BBM) dan panas bumi yang dibutuhkan PLN untuk memproduksi listrik. Costnya dianggap akan jadi lebih murah jika PLN jadi anak usaha Pertamina. Mekanisme holding tersebut juga dianggap lebih tepat dibandingkan mengalihkan saham PGE ke PLN. Apalagi PGE merupakan perusahaan pengelola energi panas bumi, sedangkan PLN merupakan perusahaan distribusi dan transmisi listrik.
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hari Poernomo pernah mengatakan bahwa kekuatan Pertamina sebagai holding BUMN energi akan semakin hebat jika PLN ikut bergabung. Sebab sebelumnya pemerintah sudah memastikan Pertamina akan menguasai sektor gas dengan mengelola PGN sebagai anak usaha.
“Bila Pertamina ditunjuk sebagai holding energi dimana di bawahnya termasuk PLN ya nggak ada masalah, karena holding kan sifatnya hanya mengkoordinir,” kata Sofyano dalam keterangan tertulis, Jumat 30 Oktober 2016.
Namun menurut Sofyano, sejauh ini holding energi masih dalam tahap penjajagan dan evaluasi, karena belum ada keputusan berupa SK atau peraturan pemerintan (PP) yang menunjuk Pertamina sebagai induknya. Penujukkan Pertamina sebagai holding energi membutuhkan aturan hukum yang jelas.
“Yang dibutuhkan payung hukum bahwa Pertamina merupakan induk holding energi yang membawahi migas, listrik, panas bumi, dan lain-lain,” ucap pengamat energi itu.
Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara menyebutkan bahwa holding energi merupakan holding raksasa atau super holding. Kalau bicara soal holding besar, negara bisa meniru Hasanah di Malaysia atau Temasek di Singapura. Kedua holding raksasa negara tetangga itu terbukti efisien dan bisa bersaing di tingkat dunia.
Menurut Marwan, sebelum masuk holding raksasa harus diperkuat dulu holding masing-masing sektor. “Saat ini, Kemeneg BUMN kan sudah merupakan holding besar, tapi kalau sektor belum ada holdingnya sehingga yang ada adalah persaingan yang kurang sehat," katanya.
Misalnya antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan PT Pertamina Gas (Pertagas) ada duplikasi pembangunan sarana, tapi ada juga sarana yang tidak dibangun. "Implikasinya bisa menyebabkan harga gas mahal karena adanya persaingan,” ucap Marwan.
Marwan mengakui bisa saja PLN di bawah holding energi dengan koordinator Pertamina, tapi kondisinya tidak mendesak untuk saat ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah peran pemerintah agar kinerja PLN bisa mengaliri listrik seluruh Indonesia dengan tarif murah.
“Tentu memerlukan biaya, 65 persen biaya tersebut digunakan untuk biaya energi primer (solar, gas, batubara). Nah pemerintah seharusnya berperan untuk mengatur harga energi ke PT PLN (Persero) agar bisa lebih murah” ucap Marwan.
Sebelumnya berkembang wacana bahwa penggabungan PLN dan Pertamina yang sudah ditunjuk sebagai holding energi merupakan hal yang ideal dibandingkan rencana PLN mengakuisi saham PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan Pertamina.
Dengan penggabungan tersebut, Pertamina sebagai induk usaha nantinya tidak akan kesulitan memasok bahan bakar minyak (BBM) dan panas bumi yang dibutuhkan PLN untuk memproduksi listrik. Costnya dianggap akan jadi lebih murah jika PLN jadi anak usaha Pertamina. Mekanisme holding tersebut juga dianggap lebih tepat dibandingkan mengalihkan saham PGE ke PLN. Apalagi PGE merupakan perusahaan pengelola energi panas bumi, sedangkan PLN merupakan perusahaan distribusi dan transmisi listrik.
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hari Poernomo pernah mengatakan bahwa kekuatan Pertamina sebagai holding BUMN energi akan semakin hebat jika PLN ikut bergabung. Sebab sebelumnya pemerintah sudah memastikan Pertamina akan menguasai sektor gas dengan mengelola PGN sebagai anak usaha.
Menurut Hari, memasukkan PGE ke PLN adalah langkah blunder. "Ini mencerminkan tidak adanya kesatuan visi dan misi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian BUMN dalam mewujudkan kecukupan energi listrik murah dan ramah lingkungan. [SUMBER]